Tentang Sepi dan Kosong yang Menjadi Momok di Sepanjang Hari

 Tentang Sepi dan Kosong yang Menjadi Momok di Sepanjang Hari



Ini tentang sepi dan kosong dalam hidup yang sering menakutiku di setiap aku membuka mata dan hendak menutup mata. Tentang bagaimana kosongnya hidupku di antara teman-temanku yang tertawa bebas dan terlihat sangat berwarna.

Mungkin sepi sudah tak asing lagi bagi manusia, terlebih ketika mereka mulai beranjak dari remaja menuju dewasa. Lalu kesepian, banyak orang yang selalu merasakannya, bukan sepi tapi kesepian. Berdiri di antara ribuan orang, tapi hanya kosong yang dirasa, mungkin itu kesepian. Banyak orang yang merasakan kesepian tapi tak pernah menyadarinya, berpikir bahwa itu hanya hal biasa. Ada beberapa hal yang mulai kusadari di usia enam belas tahun ini, tentang kesepian, sepi, kehilangan, kekecewaan, dan berbagai perasaan menyakitkan yang semakin mendewasakan.

Dulu, ketika aku masih ada di sekolah dasar, kupikir memiliki banyak teman adalah hal yang membahagiakan, walau untuk mendapat banyak teman aku harus merasakan banyak penderitaan. Lalu, hingga akhirnya kelas dua sekolah menengah pertama aku tau bahwa masa kecilku begitu kesepian. Entah bagaimana aku bisa berpikir seperti itu, tapi jika memang dipikir ulang, setiap masalah mendatangiku, menggerogoti hari-hari bahagiaku, tak ada satu orang pun yang menggenggam tanganku atau sekedar menghiburku. 

Memang aku tak banyak tau tentang bagaimana kehidupan berjalan, bagaimana manusia-manusia ‘dewasa’ itu menjalani hari-hari dengan sendiri. Kadang menyakitkan jika harus mengingat bagaimana kesepiannya hidupku.

Dulu, aku hampir menyerah karena hidup rasanya terlalu kosong. Tak ada yang mengharapkanku ada. Tak ada yang mau membuatku bahagia. Kesalahan terbesar dalam hidupku adalah memaksa orang lain untuk membahagiakanku, dan memaksa orang lain untuk tetap berada di sampingku. Hingga akhirnya beberapa bulan lalu aku sadar, bahwa kesalahan-kesalahan, kesedihan, bahkan penderitaan yang mengganggu hidupku disebabkan oleh diriku sendiri. Terlalu memaksa, menggantungkan kebahagiaan pada orang lain. Berpikir bahwa jika mereka tak mendekat kepadaku berarti mereka tak suka padaku, padahal jika aku mau dekat dengan mereka, mereka bisa menerimanya. Sederhana saja, bukan menunggu orang untuk mendekati kita, seharusnya kita yang mendekati mereka.

Terdengar aneh dan tidak memungkinkan jika aku bilang hidupku sudah cukup, lebih dari cukup. Tapi, sesekali aku berpikir bahwa hidupku paling menyedihkan. Bertahun-tahun hanya berpikir untuk mengakhiri hidup tapi terlalu takut untuk melakukannya. Ingin mati tapi masih ingin hidup. Sepertinya memang benar orang kesepian lebih membahayakan dari orang merokok. Aku menyadari itu. Tapi rasa kesepian membuatku lebih maju dari orang lain, rasa sepi yang kutemui setiap hari di manapun dan kapanpun itu mampu membuatku mengenal diriku, seperti tau bahwa aku harus menangis. Yah, jujur.

Kupikir lagi, dulu aku bisa melalukan apapun ketika sendiri. Dari hal yang menguntungkanku hingga hal yang merugikanku. Lucu ketika kuingat bagaimana hari-hariku dulu. Aku duduk di antara teman-temanku, tertawa, memperhatikan tawa renyah mereka, tapi entah mengapa aku tak bisa merasakan bahagia. Kosong sekali. Seperti tawa yang muncul pada wajahku hanya sebuah kaca yang memantulkan apapun yang ada di depanku. Lalu ketika aku benar-benar sendiri, aku masih merasa kosong, atau aku menangis hingga mampu melukai diriku sendiri. Oke, aku tau ini sudah parah, aku tau bahwa perilakuku sudah di luar nalar manusia waras.

Aku sering takut kesepian benar-benar menghilangkanku dari ingatan manusia-manusia yang kusayangi. Aku takut karena perasaan kosong dan sepi ini membuatku kehilangan segalanya yang berharga bagiku. Sering aku menangisi mengapa hidup sekosong ini, hingga Ketika terlalu kosong aku tidak memiliki harapan apapun untuk tetap ada di dunia ini.

Tetapi, kesepian mengajarkanku banyak hal. Kesepian perlahan mendewasakan. Aku bahagia karena aku pernah kesepian, perasaan yang sudah, sedang, atau akan dirasakan banyak orang.

0 komentar