Tiga Manusia; Empat bersama; Bersahabat

           


            Aku menemukan mereka ketika sekolah menengah pertama. Bertemu dengan orang-orang yang luar biasa, manusia-manusia yang selalu kesal ketika aku berkata ‘terimakasih’ katanya tak perlu ada kata terimakasih di antara aku dan mereka. Padahal, sejujurnya ada ribuan kata terimakasih yang selalu ingin kuucapkan.

Sejak kecil, aku tak begitu percaya dengan namanya teman, mereka akan selalu menyakitiku. Tapi aku menemukan mereka. Tiga manusia yang tak perlu tau apa masalahku, tapi selalu menghiburku dengan sifat asli yang luar biasa. Aku ingin menuliskan tentang tiga manusia ini, aku ingin dunia tau bahwa ada tiga manusia yang berarti bagi hidupku.

CekCulCikMu. Nama itu singkatan dari nama ejekan kami.

Pertama, Cik, Tachik, Lia. Manusia yang selalu membuatku marah karena dia terlalu lelet, selalu lama dalam memahami suatu hal hingga membuat aku kesal. Ia aneh, sangat aneh, Ibuku selalu menyebut dia anak ramai karena selalu berisik, suaranya selalu keras. Aku tak benar-benar dekat dengan dia pada awalnya, tapi hingga akhirnya kami dekat karena duduk di bangku yang sama, bersama Cul dan Mu.

Dia dulu selalu menceritakan tentang kisah cintanya. Mulai dari bagaimana dia menjalin sebuah hubungan dengan salah satu teman kelas kami, hingga bagaimana dia mendapatkan kenalan laki-laki yang tinggal di pondok ketika dia tanding silat. Tapi sekesal apapun aku kepadanya, dia satu-satunya manusia yang mempercayakan kejadian dalam hidupnya kepadaku. Dia orang pertama yang bisa membuatku sangat marah, sangat kesal dalam meladeni seseorang.

Pernah satu kali, dia datang ke rumahku ingin menceritakan tentang kisah cintanya yang tragis. Dia datang sendiri, aku menyambutnya dengan senang pada awalnya, hingga akhirnya aku merasa bosan. Aku bilang ingin tidur, dan mengharapkan dia pergi. Hingga sekarang aku merasa bersalah dengannya. Perlakuanku sangat tidak dewasa, sangat tidak mencerminkan seorang sahabat, sangat egois. Padahal dia juga orang pertama yang mau datang menemuiku untuk sekedar bercerita. Juga, dia orang pertama yang tau bahwa aku menyukai seseorang sejak kelas tujuh. Aku sering bercerita ke dia, hanya saja dia selalu lupa. Huh.

Kedua, Mu, Muneng, Listya. Gadis paling dewasa di antara kami berempat, gadis paling pemberani, gadis yang setiap tindakannya membuatku terkejut. Kali ini aku benar-benar tak dekat dengan dia, tapi setiap ada di dekatnya aku merasa tenang, aku merasa aman, itu sebabnya ketika kami pergi berempat aku tak pernah merasa khawatir tentang apapun.

Aku tidak suka bercerita ke dia, karena kami selalu memiliki pemikiran yang berbeda, kami selalu berdebat. Tapi aku suka itu. Juga, dia orang yang selalu bergerak paling depan ketika ada yang berulang tahun, dia selalu memulai inisiatifnya untuk merayakan ulang tahun itu. Bahkan ketika aku tidak punya uang, dia akan bilang bahwa aku bisa memakai uangnya terlebih dahulu. Di antara kami, dia seperti pelindung, seperti seorang Ibu itulah kenapa sekarang kami sering memanggilnya ‘Mami’.

Ada perbuatannya yang selalu aku ingat. Sekitar dua tahun yang lalu, ketika aku lulus SMP, dan harus memilih SMA. Orang tuaku tak setuju aku sekolah di tempat ini, orang tuaku takut aku tak bisa diterima di sekolah yang aku inginkan, tapi dia datang, meyakinkan Ibuku bahwa aku akan diterima di sekolah itu, dia orang yang membantuku. Dia benar-benar seperti keluargaku, serius, bahkan aku tak bisa menjelaskan bagaimana tindakannya selalu membuatku ingin berkata terimakasih.

Tahun ini, aku tidak merayakan ulang tahunnya dan Tachik, tapi ketika Icul dan aku ulangtahun, dia memberi kami kejutan, sekedar membawa donat dan berkata ‘surprise’ tindakannya selalu luar biasa.

Sekali lagi, aku bukan orang yang suka keluar rumah, alasannya karena aku tidak tenang, aku selalu khawatir tanpa alasan. Tapi, setiap aku keluar dengan dia, aku selalu tenang, seakan-akan Ibuku benar-benar ada di sisiku. Dia manusia yang paling di depan untuk menolak kata terimakasih dariku, dia juga orang yang selalu bilang, “Nggak usah nangis. Aku nggak suka lihat kamu nangis.”

Sebelum aku berpindah ke Cul. Aku ingin menjelaskan, bahwa aku dan Listya Lia beda sekolah. Iya, aku dan Cul satu sekolah, sedangkan Listya dan Lia sekolah di tempat lain karena mereka tidak diterima di sekolahku. Tapi kalian tau, apa yang selalu membuatku bahagia dengan kehadiran dua orang ini? Sejak kelas sepuluh, hampir setiap hari mereka datang ke rumahku, bercerita, membuatku benar-benar merasakan adanya seorang teman yang tak akan pernah meninggalkanku.

Dan yang terkahir, Cul, Icul, Asta. Dia gadis pertama yang membuatku merasakan yang namanya teman. Kami duduk di bangku yang sama selama tiga tahun, iya, tiga tahun sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di sekolah menengah pertama. Gadis yang ketika itu berebut kakak kelas denganku. Dulu aku memanggilnya Mbak Asta, sekarang aku memanggilnya Icul.

Dia tidak pernah bertanya apa yang terjadi dalam hidupku, bahkan aku tak pernah tau apa yang terjadi dalam hidupnya. Dia dan aku hanya saling bercerita tentang cinta, tentang siapa yang kami sukai. Dulu, dia selalu menyandarkan kepalanya di pundakku sambil bercerita. Dia orang yang selalu menghiburku dengan kelakuan anehnya. Satu-satunya orang yang tidak pernah membuatku tertekan akan suatu hal.

Dia gadis yang sangat ceria di depanku, gadis konyol, gadis yang tidak tau malu menurutku. Setiap pulang sekolah dulu dia selalu menari sambil bernyanyi di tengah lapangan, dia selalu menyebutku boboho. Dia menghiburku, dia menyelamatkanku dari trowongan yang gelap, dia selalu membuatku tersenyum.

Ketika kita SMA, setiap pulang sekolah kami selalu duduk di kantin, meminum fanta, menunggu parkiran sepi, lalu pulang dengan bibir yang sangat merah karena fanta itu. Aku tidak tau lagi bagaimana cara menceritakan kebaikan-kebaikan yang sudah ia berikan kepadaku. Tentu, aku pernah kesal karena aku takut dia memiliki teman baru dan melupakanku, dan akhirnya aku sadar, bukan dia yang melakukan itu, tapi aku sendiri.

CekCulCikMu. Kecek, Icul, Tacik, Muneng.

Kami bersahabat bukan karena kami mengetahui masalah kehidupan satu sama lain. Kami bersahabat karena kehadiran. Bagaimana mereka selalu hadir dalam kehidupanku, dan memberikan kebahagiaan yang terkadang kulupakan. Aku benar-benar merasa nyaman ketika tiga manusia itu bersamaku. Setiap tindakan mereka selalu membuatku tertegun, selalu membuatku berpikir, apa ini semua nyata? Apa aku benar-benar memiliki teman seperti mereka?

Waktu berjalan dengan begitu cepat, bukan? Aku masih ingat hari pertama bertemu Asta dan dia memperkenalkan dirinya sebagai ‘Ica’, aku masih ingat bagaimana Listya dan Lia berpindah tempat duduk hingga akhirnya satu kelompok denganku dan Asta, bahkan aku masih ingat bagaimana kami membuat satu angkatan menunggu karena kami tak kunjung kembali ke bus ketika berlibur ke Jogja. Aku ingat bagaimana Asta yang sedang berpacaran di hari minggu, aku ingat bagaimana Listya selalu marah-marah di kelas karena teman-temanku yang tak pernah mendengarkan ucapan ketua kelasnya, aku masih ingat bagaimana Lia yang ragu mengajakku untuk ke toilet. Aku selalu berkata bahwa masa-masa sekolah menengah pertamaku begitu membahagiakan, itu karena ada mereka, itu karena aku memiliki mereka.

Belakangan ini, lebih tepatnya ketika mereka pulang dari rumahku, setelah memberiku kejutan di ulang tahunku yang ke tujuh belas, aku selalu memikirkan bagaimana kami akan berpisah. Kami akan tumbuh, meraih mimpi masing-masing, kami akan berpisah, mungkin tak akan ada lagi Listya dan Lia yang selalu menelponku untuk bertanya aku mau menitip es apa, tidak akan ada lagi Asta yang memintaku untuk mengubah tugasnya menjadi bentuk pdf.

Aku menyayangi mereka sangat. Aku takut kehilangan mereka. Sekarang, kelulusan terlihat begitu menyeramkan di mataku. Aku menyukai persahabatan ini. Ada banyak kata terimakasih yang ingin kuucapkan pada mereka. Rasanya, kehadiran mereka di dunia, membantuku berjalan melawan apapun yang ada di depanku. 

Sejujurnya masih ada banyak hal yang ingin kusampaikan, tapi aku tidak tau bagaimana cara menjelaskannya. Yang jelas kehadiran mereka adalah hadiah paling indah dari Tuhan. Setiap tawa mereka, perilaku mereka, adalah tontonan paling menyenangkan. Aku tak percaya bahwa hampir enam tahun kami berteman, hampir enam tahun aku memiliki seorang teman setelah bertahun-tahun di sekolah dasar aku selalu dijauhi.

Icul, Tachik, Mami, terimakasih untuk semuanya, untuk kehadiran, untuk senyum, untuk semua tindakan.





0 komentar