Ratu | Bagian 6 | Kekasihnya

Kekasihnya
Bel tanda pulang sekolah berbunyi, seluruh murid mulai meninggalkan kelas masing-masing, termasuk Ratu. Gadis itu dengan cepat berlari keluar kelas, ia terburu-buru, karena ekstra dance yang ia ikuti masuk lebih awal dari biasanya. Ia hanya punya waktu lima belas menit untuk sholat dan ganti baju. 
Ia sangat tidak suka jika sudah seperti ini, karena ini sangat membuatnya repot, ditambah sekarang tidak ada tiga sahabatnya. Jika saja mereka ada, mungkin Ratu bisa dengan cepat wudhu dan ganti baju, karena semua perempuan akan menyingkir ketika Raja, Pangeran, dan Ksatria menyuruh. 
“Heh, pulang nggak?!” teriak Pangeran saat melihat Ratu lewat depannya. 
“Nggak!” jawab Ratu sambil berteriak, Ratu hampir saja menyuruh Pangeran berhenti, namun Pangeran sudah mengendarai motornya dengan cepat.
Ratu berhenti sejenak ketika melihat masjid sekolahnya itu penuh, jelas butuh waktu lama untuk mengantri di sana. Ia memutuskan untuk pergi ke mushola yang biasanya dipakai oleh tukang kebun untuk sholat. 
“Ratu, ekstranya libur. Bu Nining ada acara mendadak,” ucap salah satu teman ekstranya.
Ratu kembali berhenti, ia menghela nafas dengan kesal. Karena sudah berlari, temannya udah pulang, eh ternyata libur. “Kok seenaknya sih? Gue udah capek-capek lari dari ujung ke ujung,” ucapnya dengan kesal. “Ah, harus jalan buat nyari angkot, deh.”
“Kan ada taksi, Ra. Atau ojek online. Ngapain ribet-ribet cari angkot?”
“Gue nggak mau naik taksi, nanti mabuk. Dan ojek online? Sorry gue nggak suka dibonceng sama sembarangan orang,” jawabnya dengan wajah-wajah manja.
Gadis itu membulatkan mata melihat kelakuan temannya ini. “Terus lo mau desak-desakan sama sembarangan orang di angkot?”
“Beda cerita, kalau di angkot bisa kenal, jadi nggak orang asing lagi. Tapi, kalau ojek online atau taksi kan paling mas-masnya tanya Mbaknya baru pulang sekolah ya? Emang yang jemput kemana? dan bla bla bla,” jelas Ratu. “Udah deh, gue pulang duluan. Assalamualaikum.”
Ratu berjalan meninggalkan temannya itu. Lorong sekolah sudah mulai sepi, sekarang tempat parkir adalah tempat paling ramai. Atau lapangan basket yang sekarang sedang penuh, karena Raja dan Ksatria sedang tanding dengan anak SMA Lastar. Ratu tidak menyukai hal-hal semacam ini, itu sebabnya dari dulu ia tidak pernah hadir ketika teman-temannya itu sedang bertanding, dan mereka juga memaklumi itu, mereka tidak terlalu mempermasalahkan hal itu.
Ratu berdiri di pinggir jalan, menunggu angkot langganannya itu datang. Tak lama, sebuah mobil jazz berwarna putih berhenti tepat di depan Ratu. Gadis itu terlihat bingung, karena memang dia tidak mengetahui siapa pemilik mobil itu, ia juga tidak mempunyai teman yang memiliki mobil seperti itu. Akhirnya, Ratu memutuskan untuk tidak mempedulikan mobil itu, ia berjalan sedikit menjauh.
Mobil itu berjalan mengikuti Ratu, lalu Ratu berhenti ketika kaca dari mobil itu terbuka, melihatkan seorang laki-laki berseragam putih abu-abu dan berkaca mata hitam. Dia adalah Dikta. Ratu tidak mengetahui kenapa laki-laki itu bisa berada di sini, karena jarak sekolahnya dengan sekolah Dikta cukup jauh. 
“Masuk,” titah Dikta dari dalam mobilnya.
“Aku?” tanya Ratu sambil menunjuk dirinya sendiri.
Dikta mengangguk. Setelah itu Ratu masuk ke mobil. Cukup canggung untuk Ratu ketika Dikta mulai menjalankan mobilnya.
“Kenapa bisa ke sini?” tanya Ratu.
Laki-laki itu sedikit menurunkan kacamatanya, lalu menjawab, “Ikut gue sebentar. Bantuin gue ya?”
“Bantuin apa?”
“Intinya bantuin aja. Nggak ribet kok.”
Ratu menganggukkan kepala, lalu ia diam sambil memandang wajah Dikta yang sedang terfokus menyetir. Gadis itu masih tidak percaya bahwa ia telah jatuh cinta pada laki-laki penjaga perpustakaan, ia benar-benar tidak percaya bahwa dirinya bisa jatuh cinta, bisa merasakan degupan jantung yang semakin cepat ketika dekat dengan seorang laki-laki. Karena, dia memang tidak pernah merasakan hal seperti itu sebelumnya. 
Jantung gue kenapa, sih? Ia terus menerus bertanya pada dirinya sendiri, karena ini memang hal aneh untuknya, hal yang sukar baginya. 
***
Ratu berdiri dengan diam di samping mobil Dikta. Mereka sekarang sedang berada di acara ulang tahun teman Dikta. Tadi, Dikta membawa Ratu ke salon untuk mengganti pakaian dan berhias.
Sekarang Ratu memakai dress selutut berwarna merah muda, rambutnya ditata dengan rapi, dan ia mengenakan high heels 5 cm. Gadis itu terlihat begitu anggun, bahkan Dikta sempat terpesona dengannya, karena terlihat begitu berbeda dari sebelumnya.
“Aku harus ngapain?” tanya Ratu sambil menatap Dikta dengan bingung.
“Nanti lo cukup pura-pura jadi pacar gue, kalau mereka tanya sejak kapan kita pacaran, bilang aja sejak dua bulan yang lalu, dan kalau mereka tanya kita kenal di mana, jawab kita kenal dan pertama kali ketemu di pasar malam beberapa tahun yang lalu. Oke?”
Ratu mengangguk, mengerti. “Kenapa harus aku, sih?” tanya Ratu ketika Dikta menggenggam tangannya untuk segera berjalan.
Dikta berbalik menoleh. “Karena gue cuman punya lo,” jawab Dikta lalu berjalan sambil menggandeng tangan Ratu.
Gadis berbibir merah muda itu hanya terdiam. Ia terus melihat tangannya yang sekarang digenggam oleh seorang laki-laki yang bukan sahabatnya. Iya, ini pertama kalinya untuk Ratu. Gadis ini memang benar-benar tidak pernah merasakan bagaimana digandeng oleh seorang laki-laki, karena Ksatria, Raja, dan Pangeran, tidak pernah membiarkannya dekat dengan laki-laki.
“Kita bakalan ke sana,” ucapnya sambil menunjuk sekumpulan teman-temannya. “Perempuan yang pakai dress warna putih, dia yang ulang tahun. Kita ke sana cuman untuk ngasih ucapan, kado, dan gue ngenalin lo ke mereka. Udah, setelah itu kita pulang,” jelasnya.
“Kenapa pulangnya cepet?”
“Gue nggak suka tempat kayak gini, nakutin. Lo juga nggak suka, kan? Om Firza udah bilang tadi pagi, kalau lo nggak suka sama acara-acara kayak gini.”
Ratu mengangguk. Memang benar ia sangat tidak suka dengan acara seperti ini, bukan hanya tidak suka tapi juga tidak nyaman. 
“Eh Dikta udah datang,” ucap perempuan yang sedang berulang tahun itu.
Ratu dan Dikta tersenyum menanggapinya, lalu Dikta memberikan kado yang sudah ia bawa kepada perempuan itu. “Selamat ulang tahun, Nina,” 
Perempuan bernama Nina itu mengambil kado dari Dikta. “Makasih, Ta,” ucapnya. “Dia siapa?” tanyanya sambil menunjuk ke arah Ratu.
“Iya, siapa dia, Ta? Datang ke acara ulang tahun mantan sambil bawa cewek,” sahut laki-laki berkulit sawo itu.
Dikta tersenyum. “Kenalin, namanya Ratu, pacar gue,” ucapnya memperkenalkan Ratu.
Ratu tersenyum. “Salam kenal, Ratu.”
“Ratu?” tanya Nina. “Sejak kapan kalian pacaran? Bukannya Ratu Alyssa Veranza adalah perempuan yang selalu sama Raja Valeon, Ksatria Alfasa, dan Pangeran Nikolas Adhi, ya? Kayaknya gue nggak pernah denger Seorang Ratu punya pacar.”
“Mungkin kamu aja kali yang nggak tau. Emang kenapa kalau seorang Ratu punya pacar? Kalau kamu nggak pernah dengar, sekarang udah dengar kan? Saya Ratu, perempuan yang selalu sama Raja, Ksatria, dan Pangeran, dari dua bulan yang lalu sudah punya pacar, namanya Dikta. Udah?”
Dikta menatap Ratu sambil tersenyum. “Udah deh, gue sama Ratu mau pulang dulu. Ada urusan yang lain,” ucap Dikta, lalu kembali menggenggam tangan Ratu dan pergi meninggalkan teman-teman, dan mantannya yang masih menatap mereka dengan tidak percaya itu.
Mereka kembali ke dalam mobil. Dikta yang segera menyandarkan punggungnya di kursi lalu bernafas lega, sedangkan Ratu, gadis itu masih sulit bernafas karena jantungnya selalu berdegup dengan kencang ketika berada di dekat Dikta. 
“Nafas, jangan ditahan, mati mendadak gue yang disalahin,” ucap Dikta dengan matanya yang masih tertutup. 
Ratu menurutinya, ia menghembuskan nafas dengan perlahan, lalu ia bertanya, “Kenapa bawa aku ke sini? Dan kenapa harus pura-pura jadi pacar kamu?”
Dikta membuka mata sebelah kiri, lalu menjawab, “Emang mau jadi pacar gue beneran?” 
Dengan cepat Ratu mengalihkan pandangan ke luar jendela, pipinya tiba-tiba memanas setelah mendengar pertanyaan itu. Sedetik kemudian laki-laki bermata bulat itu tertawa. “Lo baper? Gue bercanda kali. Jangan dibawa hati, nanti sakit hati gue yang disalahin.”
“Nggak lucu!”
“Iya-iya, maaf, nggak kelewatan lagi deh bercandanya,” katanya, lalu memberikan Ratu sebuah permen jahe. “Nih, biar tambah panas.”
Ratu melihat permen itu. “Nggak suka jahe,” ucapnya.
Dikta mengangguk, lalu kembali memasukkan permen itu ke tempat semula. “Oh iya, mereka temen-temen gue, dan yang ulang tahun adalah mantan gue, kita udah pacaran dari kelas satu SMP, putus tahun kemarin. Lo tau kita putusnya karena apa?”
Ratu menggelengkan kepala, ia menatap Dikta dengan serius, menunggu lanjutan dari cerita Dikta.
“Ditikung temen sendiri,” lanjutnya lalu memukul stir mobil. “Gue nggak bisa nyalahin siapapun di sini, karena gue sendiri juga salah. Dulu gue itu lebih perhatian ke osis daripada ke pacar sendiri, jadi kena tikung deh.”
“Terus sekarang masih nggak bisa move on?” 
“Bisalah,” katanya. “Orang gue udah punya pacar,” lanjutnya.
Ratu terdiam. Gadis itu tak bisa berkata, mendadak dadanya terasa sesak ketika mendengar apa yang dikatakan Dikta. Ia pikir laki-laki itu tidak punya pacar, dan jika sudah mempunyai pacar, mengapa ia harus membawa Ratu ke sini? Kenapa tidak pacarnya saja? Ini hal baru di hidup Ratu, karena gadis itu tidak pernah dikecewakan dengan harapannya sendiri.
“Pacar kamu kemana? Kenapa nggak bawa dia aja?”
“Dia di Korea, jadi kita LDR,” jawabnya. “Karena nggak mungkin gue mendadak nyuruh dia datang ke Indonesia, jadi gue ajak lo aja. Nggak apa-apa, kan?”
“Nggak apa-apa kok,” jawab Ratu sambil tersenyum palsu.
Bagaimana keadaan gadis itu bisa baik-baik saja ketika ia tau orang yang dia sukai mempunyai pacar? Tentu keadaannya sedang tidak baik-baik saja. Perasaannya benar-benar tersakiti karena kenyataan ini, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena memang bukan siapa-siapa. Jika saja Ratu diberi kesempatan, ia hanya ingin mengagumi Dikta dari jauh tanpa perlu mengenal Dikta lebih dekat. 
Tapi semua sudah terlanjur, sebentar lagi ia akan jauh lebih sering bertemu dengan Dikta. Tentu, karena Firza sudah berkata kepada Ratu bahwa laki-laki itu akan lebih sering mengantar dan menjemput Ratu sekolah, bahkan Firza dan Ridwan sudah berencana untuk memindahkan Dikta di sekolah Ratu, atau sebaliknya. Mau-tidak-mau mereka harus menuruti itu.
Iya, Firza memang berencana untuk sedikit menjauhkan Ratu dari Raja, Ksatria, dan Pangeran. Sebagai seorang Ayah, Firza memutuskan itu agar Ratu bisa menemukan apa yang dia suka, apa yang dia inginkan, dan agar Ratu bisa merasakan apa yang dirasakan perempuan lain di usianya. Gadis itu terlalu penakut untuk menghadapi hal yang lebih menyeramkan di kemudian hari, itulah yang sedang dipikirkan Firza. Istrinya memang tidak setuju dengan ini, karena Salma sangat menyayangi Ratu, Salma tidak ingin Ratu tersakiti, tapi tetap saja, Salma harus menuruti Firza sebagai kepala rumah tangga.

“Maaf ya, karena lo gue jadiin pemeran pengganti,” katanya sambil menatapku. “Gue tau mungkin perasaan lo sakit, tapi beneran gue nggak berniat gitu. Maafin gue.”

0 komentar