Ratu | Bagian 1 | Pertemanan


“Ratu, cepat! Lo ganti baju atau tidur sih, lama amat!” teriak Pangeran.

Pangeran, Raja, dan Ksatria sedang berada di rumah Ratu. Ini rutinitas mereka, menjemput perempuan yang paling mereka sayangi setelah Ibu mereka. Ratu adalah salah satu perempuan yang beruntung memeiliki tiga laki-laki itu, karena bagaimana pun keadaan Ratu, mereka akan selalu ada untuk Ratu.

“Sabar, dong. Namanya juga perempuan. Ratu itu harus tampil perfect biar kalian nggak malu kalau jalan sama Ratu,” ucap Ratu sambil berjalan ke arah mereka.

“Iya, tapi kalau gini terus, kita akan terlambat untuk yang ke 20 kalinya hanya karena nunggu Ratu yang dandannya seabad-abad,” balas Pangeran.

“Udah, ayo berangkat,” lerai Ksatria, jika tak ada laki-laki satu ini, mungkin Ratu dan Pangeran tidak akan bisa berteman selama ini. Karena saat bertemu Ratu dan Pangeran akan selalu bertengkar, hanya Ksatria yang mau melerai mereka, sedangkan Raja tak peduli sama sekali.

“Sat, kunci mobil di lo, kan?” tanya Pangeran.

“Ada di gue,” sahut Raja sambil menutup bukunya, lalu berjalan mendahului mereka.

“Eh, Ja, pamit dulu sama Om-Tante woy!” teriak Firza- ayah Ratu- sambil menggelengkan kepala, “ Nggak anak, nggak bapak sama aja kelakuannya,” lanjut Firza.

Pangeran tertawa, “namanya juga buah jatuh nggak jauh dari pohonnya, Om.”

“Kita berangkat. Assalamualaikum,” pamit Ratu lalu mencium punggung tangan Firza yang diikuti oleh Pangeran dan Ksatria.

Mereka berjalan menyusul Raja yang jelas sudah ada di dalam mobil. Mereka mengerti bagaimana Raja, laki-laki itu memang dingin sama seperti Ayahnya dulu. Tapi, sedikit berbeda, Jika Leo adalah laki-laki dingin yang benar-benar irit dalam bicara, berbeda dengan Raja, lelaki dingin yang masih sering bicara banyak. Sifat mereka sama seperti orang tuanya. Sama-sama aneh.

Mereka sekolah di SMA yang sama, hanya beda kelas dan jurusan. Raja dan Ksatria anak IPA, sedangkan Ratu dan Pangeran anak IPS. Otak mereka sama seperti orang tuanya; pintar dan memiliki IQ yang tinggi. Tapi, bagi Ratu dan Pangeran, cara menghitung uang jauh lebih penting dari pada mengukur ketinggian lemparan bola. Sedangkan bagi Ksatria, memikirkan rumus fisika, menghafal tabel periodik, dan mengenal nama ilmiah tumbuhan jauh lebih penting daripada memikirkan masa lalu yang nggak akan terulang di kehidupan selanjutnya. Nggak usah tanya menurut Raja, karena bagi anak itu IPA dan IPS sama-sama susah, sama-sama merepotkan, dan sama-sama membuat otak menjadi pusing.

Dari Raja kelas empat SD, yang dia pikirkan hanya bagaimana cara agar cepat lulus, dan tidak sekolah. Sampai akhirnya dia mengenal akselerasi, dia ingin ikut jalur sekolah cepat itu, tapi ditentang oleh Leo dan Ara. Bagi Raja, sekolah hanya akan merepotkan, menyita waktu anak bermain, intinya Raja sangat benci dengan sekolah.

***

“Pangeran, bawain tas Ratu!” teriak Ratu sambil turun dari mobil.

Pangeran yang sudah berjalan akhirnya berhenti karena teriakkan Ratu, lalu menghela nafas dan berbalik. “Ogah,” kata Pangeran yang akhirnya melanjutkan berjalan.

“Pangeran jahat!” bentak Ratu. “Tas Ratu berat tau.”

“Terus kalau tas lo berat kenapa? Itu bukan urusan gue.”

“Nanti Ratu tambah pendek.”

“Bukan urusan gue juga.”

“Biar gue aja yang bawa,” sahut Raja sambil mengambil tas yang berada di tangan Ratu.

Ratu tersenyum, “Raja baik, nggak kayak pangeran jahat.”

Ksatria yang dari tadi melihat hanya menggelengkan kepala, melihat drama pagi yang selalu ia lihat sejak kelas tiga SMP. Ia berjalan, lalu berkata pada Raja, “Ja, gue ke kelas duluan. Jagain Ratu, jangan sampai dia ngerobek baju Pangeran lagi.”

Sudah berkali-kali Pangeran harus menganti seragamnya, karena Ratu selalu merobek seragam itu. Setiap pagi mereka selalu bertengkar, dan jika pertengakaran di mulai saat Ratu sedang PMS, maka saat ke sekolah Pangeran harus membawa dua seragam, karena dia tau kalau seragam yang sedang dia pakai akan berakhir menjadi baju yang tak bisa dipakai.

Raja mengangguk, “iya. Sat, tolong bilang ke Budi, hari ini gue nggak bisa ikut latihan.”

Ksatria mengangguk sambil tersenyum, lalu melangkah meninggalkan Raja dan Ratu.

“Tadi malam tidurnya nyenyak?” tanya Raja sambil berjalan.

“Nyenyak kok. Oh iya, Raja, nanti Ratu ikut ke rumah sakit yah?”

“Nggak usah.”

“Kenapa? Ratu pengen ikut, Ja.”

“Lo ada jadwal ekstra dance, nanti tambah capek. Jadi jangan.”

Ratu menghela nafas, dia tidak ingin berusaha lagi, karena Raja begitu keras kepala, jika dia sudah berkata tidak, yah tidak, nggak akan berubah menjadi iya. Kadang mereka pun kesal dengan sifat keras kepala Raja, karena disaat Raja sedang marah pada seseorang, laki-laki itu benar-benar membuat orang yang membuatnya marah mendarat di rumah sakit, atau beberapa gigi orang itu lepas dari tempatnya.

“Yaudah, Raja hati-hati.”

Raja tersenyum sambil mengangguk. Laki-laki itu berjalan dengan wajahnya yang selalu tanpa ekspresi, tapi terlihat begitu keren. Yah, wajah Raja benar-benar perpaduan yang hebat. Perpaduan antara Leo dan Ara. Tak heran jika para murid bilang bahwa Raja adalah murid paling tampan di sekolah ini.

“Hai,” sapa seorang perempuan yang tiba-tiba berdiri di hadapan Raja.

Raja menaikkan sebelah alisnya, “Apa?”

“Nih, sarapan buat lo,” ucap perempuan itu sambil memberikan kotak makan berwarna merah kepada Raja.

Raja menghela napas, lalu mengambil kotak makan itu dan berkata, “Udah ya, besok jangan bawa sarapan buat gue lagi.”

Raja berjalan sambil menggelengkan kepala saat memikirkan, ini adalah kotak makan yang ke 15 yang diberikan oleh orang yang sama. Bukan ia tak menghargai pemberian temannya itu, tapi ia bingung bagaimana cara menghabiskan makanan itu selain membagikan pada teman-temannya. Raja tau bahwa sekarang di dalam lokernya sudah penuh dengan kotak makan, karena kebanyakan yang menyukai Raja adalah perempuan yang jatuh cinta diam-diam.

Dan benar seperti pemikiran Raja tadi, ketika ia membuka loker, dia melihat sekitar sepuluh kotak makan dengan bermacam-macam warna tersusun dengan rapi di sana. Raja bernar-benar tidak suka seperti ini, karena bagi Raja, uang yang mereka pakai untuk bahan makanan itu adalah uang orangtua mereka, jadi untuk apa diberikan kepada orang asing? Lebih baik ditabung, siapa tau nanti orangtuanya butuh. 

Raja mengelilingkan pandangannya mencari seseorang yang tepat untuk memakan makanan itu, agar tidak mubazir. Tak butuh waktu lama Raja sudah melihat orang itu, “Pangeran!” panggilnya sambil berteriak.

“Apa? Sarapan kah?” tanya Pangeran dengan cepat sambil tersenyum.

Raja mengangguk, “habisin,” katanya lalu pergi ke kelas.

“Alhamdulillah, rejeki anak soleh nggak pernah putus. Nggak pernah salah gue temenan sama cogan bin terkenal kayak Raja,” ucap Pangeran dengan menggelengkan kepala dan terus melihat Raja yang berjalan pergi.

***

Ratu duduk di kantin, di meja ratu, nama yang diberikan Ksatria saat pertama kali masuk ke kantin ini. Tempat duduk yang sangat strategis, karena menyajikan pemandangan taman sekolah yang terlihat sangat jelas. Ratu duduk sambil menunggu ketiga temannya itu datang, karena bagaimana pun hanya mereka bertigalah teman Ratu. Ratu memang bukan anak yang gampang diajak berteman.

“Lama!” bentak Ratu pada Pangeran yang baru saja datang.

“Diam!” bentak Pangeran mengikuti gaya bicara Ratu. “Lagian Raja sama Ksatria masih ngitung kelembapan udara,” lanjutnya sambil duduk di hadapan Ratu.

Ratu tak mempedulikan ucapan Pangeran, karena itulah kalimat yang di ucapkan Pangeran setiap kali Raja dan Ksatria datang terlambat. Alasannya memang bukan seperti itu, tapi hampir benar. Raja dan Ksatria selalu datang terlambat, karena mereka didaftarkan kelas tambahan. Kelas tambahan yang dimulai setiap bel istirahat, kelas yang hanya berlangsung sepuluh menit.

“Pangeran,” panggil Ratu.

Pangeran mengalihkan wajahnya ke Ratu. “Apa?”

“Pangeran bosen nggak punya teman ini-ini aja?”

“Kenapa lo tiba-tiba ngomong gitu?”

“Tadi, waktu Ratu ke toilet, ada yang ngomongin kita. Katanya, sebenarnya Pangeran, Raja, dan Ksatria itu bosen temenan sama Ratu. Cuman, karena kalian kasihan sama Ratu aja jadi kalian masih bertahan buat temenan sama Ratu.”

Pangeran berdiri dari tempat duduknya, lalu menghela nafas sejenak. “Siapa yang ngomong kayak gitu?” tanya Pangeran dengan nada dingin.

“Pangeran duduk lagi nggak?” Ratu tau apa yang akan dilakukan laki-laki itu. Dia akan mendatangi orang yang membicarakannya itu, lalu memarahinya habis-bisan. Dulu saat SMP, ada perempuan yang dimarahi oleh Pangeran sampai perempuan itu pindah sekolah karena takut.

Sebenarnya, Pangeran tidak semenakutkan itu, dan tidak juga sejahat itu. Tapi, jika hal itu tentang tiga temannya, dia bukan lagi Pangeran si ramah. Pangeran tidak bisa mengendalikan emosinya jika sudah menyangkut keluarga, dan sahabat. Mereka begitu berharga buat Pangeran, walau dia, Ratu, Raja, dan Ksatria tidak sedekat ayah mereka. Karena lima Tahun Ratu sekolah di Surabaya, tiga tahun Pangeran sekolah di Kalimantan, dan dua tahun Ksatria sekolah di Bandung. Sedangkan Raja, dia hanya menetap di Jakarta, tak ingin pindah kemana-mana, karena malas untuk berbenah.

“Ada apa ini?” tanya Ksatria yang baru saja datang bersama Raja.

“Ini nih, Pangeran mau buat anak orang keluar dari sekolah lagi,” jawab Ratu.

Raja hanya menepuk bahu Pangeran, lalu duduk tanpa berbicara sama sekali. Dia mulai membuka novel yang sudah dia baca selama empat bulan. Cukup lama memang, tapi jika Raja sudah suka yang itu, dia akan tetap memegangnya sampai dia bosan. Padahal Raja bukan tipe orang yang mudah bosan.

“Gue kesel banget sama mulut orang-orang. Mereka itu suka banget ngomongin orang, ngatain orang, tanpa tau kebenarannya. Yah, kalau mau ngomong, ngatain, dicari tau dulu kebenarannya gitu, jangan malah asal ngomong. Kalau seandainya gue marah, malah gue yang dimarahin, diskors. Waktu kecil dia kebanyakan makan pisang kali yah, mulutnya itu jadi nggak bisa diem. Gatel gitu mulutnya kalau nggak ngomongin orang,” cecoros Pangeran dengan begitu kesal.

“Udahlah, biarin aja. Yang penting apa yang mereka omongin itu nggak terjadi sama kita, yah nggak apa-apa dong.” Ksatria menarik Pangeran agar kembali duduk. “Nggak usah marah,” lanjutnya sambil menepuk punggung Pangeran.

Pangeran menoleh ke Raja yang sedang membaca buku dengan begitu serius, lalu berkata, “Ja, nanti ikut gue ke toko buku, yah?”

Ratu mengerutkan keningnya. “Sejak kapan lo suka ke toko buku?”

“Gue bukan mau beli buku. Gue Cuma mau beliin Raja buku, bosen gue lihat bukunya itu mulu.”

Ratu tersenyum, lalu berjalan ke arah Raja. “Raja kan setia, jadi satu buku untuk setahun,” ucapnya sambil merangkul Raja.

“Setia, sih, setia. Tapi nggak gitu juga.”

3 komentar