Rania Bahagia
Menjadi berbeda adalah tujuan Rania. Menghabiskan
waktu di dalam kamar ketika teman-temannya pergi untuk mengunjungi kafe baru.
Duduk sambil meminum kopi di pagi hari ketika teman-temannya merencanakan untuk
pergi ke mall baru di kota. Menatap langit dan tersenyum ketika teman-temannya
menatap ponsel sepanjang hari. Membaca buku di waktu senggang ketika
teman-temannya membicarakan semua orang.
Rania suka menjadikan hidupnya menjadi hidup yang
romantis.
Rania ingin berbeda dari temannya.
Rania ingin menjadi satu-satunya.
Rania ingin diingat sebagai Rania.
Rania ingin sekelilingnya tau bahwa hal itu
mengingatkan mereka akan Rania.
Rania menyukai hidupnya.
Setiap malam dia menatap kaca Panjang di tembok kamar.
Wajahnya tersenyum, pipinya merona, bibirnya terangkat dengan sangat indah.
Matanya menatap bahagia wajah di cermin, sedikit Rania tau bahwa ada sesuatu
yang tersembunyi.
Tangan kanannya membawa benda berkarat bekas milik
kakak perempuannya. Lengan baju tangan kirinya tergulung, menampakkan beberapa
karya yang dia buat satu jam yang lalu. Garis-garis merah tak teratur terlukis
di sana, memberikan tanda merah yang muncul dari ujung-ujung garis tersebut.
Rania menyukai hidupnya.
Sekali lagi, Rania menyukai hidupnya.
Sekarang pukul satu dini hari. Suara dengkuran
orang-orang rumah mulai terdengar di telinganya. Jauh di sana dia mendengar
jeritan seseorang. Suara jeritan itu tak asing, sudah hampir empat tahun
rupanya jeritan itu selalu dia dengar. Sudah jadi hal biasa bagi Rania.
Dia melakukan hal-hal yang dia suka; mengambil novel,
menyalakan lampu baca, dan mulai membaca. Musik yang terputar membuatnya
mengalunkan lirik dengan indah.
Suara langkah menjauh membuat Rania menutup bukunya.
Ada secerca api yang tiba-tiba menyentuh ingatan, membuat derai tangis Rania
dimulai pada pukul satu lebih empat puluh empat dini hari. Mulutnya terbungkam,
badannya bergetar, tangan kanannya mulai mengetuk kepala dengan keras,
berkali-kali hingga pening mulai memasuki.
“Apa yang salah? Apa yang kurang? Aku punya segalanya,”
gumamnya sambil menatap layar laptop yang sejak tadi hanya menunjukkan laman
kosong.
“Aku bahagia.”
“Aku bahagia.”
“Aku bahagia.”
Dia mengulang kata-katanya. Tangannya berhenti
mengetuk. Mulutnya berhenti bergerak. Tubuhnya berhenti bergetar. Semua
berganti dengan kosong yang ada di dada. Ada gelembung di sana, ada tempat yang
kosong di antara organ-organ tubuhnya. Ada sesuatu di otaknya yang sekarang
sedang diam dan menginginkan sesuatu.
“Aku salah apa?” Dia menanyakan hal tersebut dengan
lirih. “Aku punya salah apa?” Dia mengulang pertanyaannya.
“Salahku apa?”
“Kenapa?”
Tangan kirinya tak lagi terasa. Cairan merah juga tak
lagi terlihat. Dia kembali mengambil benda berkarat tadi, dan mencoba untuk
melukis kembali. Barulah ada cairan yang keluar dari matanya. Ada sakit yang
tak bisa dia lihat, ada sakit yang tak pernah bisa dia katakan. Maka dia
membuarkan lukisan tersebut berbicara. Maka dia biarkan matanya memejam dengan
perih di sekujur tubuh yang tak pernah diketahui orang-orang.
Maka dia biarkan obat mabuk membuatnya terlelap tanpa
tenang. Lalu dia mencoba untuk bangun, dan melukis kembali.
Matanya menatap luar jendela yang sudah terang. Suara
bising orang-orang membuatnya mengeluarkan cairan dari mata lagi. Rasa marah
mulai muncul. Dia mengetuk kembali, bukan lagi di kepala, tetapi di sekujur
tubuhnya. Bayangan-bayangan yang menghantuinya mulai muncul lagi.
Ada ketukan di luar kamarnya. “Rania, bangun,” suara
Ibu mengalum dengan indah.
“Apa yang kurang? Aku punya segalanya. Aku punya
segalanya. Semua milikku. Semua milikku. Aku bahagia. Aku baik-baik saja. Jadi
apa yang kurang? Apa yang terjadi? Kenapa? Kenapa dengan hidupku? Aku baik-baik
saja. Semua baik-baik saja.” Lagi-lagi dia menggumam.
“Ayah sama Ibu mau keluar, mau nitip apa?”
Rania menggeleng. Takut. Takut. Takut. Badannya
kembali bergetar. Tidak, Rania baik-baik saja. Dia hanya………hanya menjalankan
hidupnya.
Tidak. Rania tidak membenci hidupnya. Rania mencintai
hidupnya. Iya. Rania mencintai hidupnya.
Rania mencoba.