Ada kegelisahan di wajah mereka
Tak jarang aku melihat mata
orang-orang yang menatap gelisah pada satu hal. Tak jarang pula aku melihat
bagaimana mereka mengeratkan kedua tangannya dan berharap akan ada sesuatu yang
baik datang ke kehidupan mereka. Semua orang memiliki ketakutan, bahkan anak
kecil pun bisa takut ditinggal ibunya ke pasar.
Pagi itu, saat aku masih kelas dua
belas, aku sering sekali melihat kegelisahan di mata teman-temanku. Ada yang
diam saja, ada yang mengeluh, ada yang kebingungan, dan segala macam bentuk
pelampiasan dari kegelisahan yang mereka rasakan. Ketakutan mereka jelas
tentang masa depan, tentang kemana harus berjalan, juga tentang keinginan yang
kemungkinan tak bisa terkabulkan. Banyak sekali yang tergambar di wajah mereka,
mata mereka selalu jujur tentang apa yang sebenarnya dirasakan oleh sang
pemilik.
Tak ada yang tau tentang masa depan,
itu kenyataan yang harus diterima. Semua orang mengambil jalan, memilih jalan,
memilih arah, tanpa kepastian apa mereka akan sampai di tujuan yang mereka
inginkan atau justru sampai di tempat lain yang tidak pernah terbayang dalam
pikiran. Banyak yang justru takut memilih karena takut dengan hasil pilihannya
sendiri. Kadang mereka memilih untuk ‘mengikuti’ pilihan orang lain, mungkin
sekedar agar jika gagal, gagalnya tidak sendiri. Sejujurnya, kegagalan lebih
terasa meyakitkan ketika gagal sendiri dan melihat orang-orang yang berjuang bersama
kita berhasil.
Saya tentu juga merasakan
kegelisahan saat memilih jalan mana yang akan saya pilih, tak jarang juga saya
kecewa dengan apa yang pilih. Jika sudah seperti ini sangat mungkin bukan untuk
menyalahkan diri sendiri? Kenapa memilih ini? Seandainya aja dulu. Dan semua
kalimat-kalimat tanya tentang penyesalan yang tidak ada habisnya terulang
setiap malam.
Kenyataan bahwa masa depan merupakan
sebuah kejutan justru jadi hal yang paling ditakuti oleh setiap insan. Saat
masih sekolah dulu, saya sebagai orang yang selalu jadi pendengar sering sekali
mendengar perihal ketakutan dan kegelisahan orang-orang terhadap suatu hal. Ada
bagi saya sederhana, ada juga yang bagi saya memang patut ditakuti. Seperti
takut dengan pelajaran matematika bagi saya merupakan kegelisahan yang
sederhana, tetapi bagi teman saya itu kegelisahan yang benar-benar menakutkan.
Atau takut dengan peringkat kelas, itu kegelisahan yang memang membuat banyak
orang gelisah.
Kegelisahan saya yang paling parah
tahun ini tentu perihal apakah saya bisa kuliah. Sekali lagi, saya mengambil
jalan dengan keberanian dan harapan, lalu jalan itu salah tentu kegagalan yang
saya dapatkan, kekecewaan terhadap diri sendiri yang mendalam. Saat itu saya
gagal masuk universitas dan jurusan yang saya inginkan. Sekarang? Saya kuliah,
di universitas yang tidak begitu saya inginkan tetapi masih masuk dalam
universitas yang saya minati, dan jurusan yang selalu jadi nomor dua di hidup
saya.
Kekecewaan tentu masih mengelilingi
saya setiap saya sadar bahwa saya tidak bisa menjadi seseorang yang saya
inginkan. Tidak ada impian-impian yang sudah saya susun rapi itu, tidak ada
bayangan-bayangan tentang profesi yang paling saya dambakan itu. Sekarang,
selalu ada rasa sakit atau perasaan kosong setiap nama universitas atau nama
jurusan itu terdengar atau terbaca oleh saya.
Kegelisahan itu ada. Ketakutan itu
ada. Kekecewaan itu ada. Dan akan selalu ada. Saya tidak bisa menyangkal
perasaan itu, tugas saya sekarang adalah menerima. Menerima bahwa Tuhan
memberikan saya jalan lain, memberikan sesuatu yang dulu saya abaikan.
Menerima. Mengikhlaskan. Merelakan. Menerima. Bukankah itu yang menjadi tugas
manusia setelah memilih pilihan yang tidak pasti adanya?