Sang Paus Tertawa

 


Sang Paus Tertawa

Kemeja Putih dengan almamater biru melekat di tubuhmu.

Tertawa dengan duniamu.

Tertawalah semaumu.

Aku suka melihat duniamu.

Semoga hidupmu tak membelenggu.

Aku suka kamu yang dulu.

Aku benci kamu yang tak menganggapku.

Tapi, aku suka keberadaanmu di sisiku.

  21-02-2019 

Sang Paus Tertawa

Itu adalah puisi yang aku buat ketika Study Campus ke Malang, lebih tepatnya saat aku di Polinema. Saat itu aku mendapatkan buku, bulpen, dan makanan ringan beserta minumnya. Aku duduk bersama teman kelasku, tapi mereka berbicara sendiri, jadi aku memutuskan untuk menyendiri saja. Aku mengelilingkan pandangan mencari seseorang, sampai akhirnya aku menemukan orang itu, dia sedang tertawa bersama temannya. Dia adalah Paus. Yah, aku menyebut dia paus. Sebenarnya bukan hanya dia, tapi semua orang yang aku sayangi adalah paus bagiku. Entah mengapa, aku suka saja menyebutnya begitu.

Aku membuka buku tipis itu, memandanginya dan membuat puisi untuknya. Karena hanya ini yang bisa aku lakukan. Karena aku tidak mungkin mengungkapkan apa yang aku rasakan ke dia. Jadi, aku ungkapkan perasaanku lewat puisi. Siapa tau suatu saat aku akan menjadi penyair, atau penulis dan dia adalah pembaca karya-karyaku.

Seperti yang sudah tertulis dalam puisi. Waktu itu dia sedang menggunakan kemeja berwarna putih sedikit kebiruan, dan almamater sekolah yang berwarna biru tua. Aku sangat suka melihat dia tertawa, apalagi ketika mendengar suara tawanya. Dan aku lebih suka dia yang tiga tahun lalu, daripada dia yang sekarang. Karena dia yang sekarang seperti orang asing bagiku. Tapi, aku juga bersyukur aku masih bisa bertemu dengan dia, masih bisa melihat dia. Itu saja sudah membuatku bahagia sekali.

Saat study campus kebetulan aku satu bus dengan dia, walau kita beda kelas. Saat itu aku bisa mendengarkan suara tawanya, ingin membuat puisi, tapi aku sudah sedikit mabuk perjalanan. Entah mengapa, setelah aku bertemu dia atau aku melihat dia, rasanya kata itu langsung muncul dari kepala. Ide-ide mulai mendatangiku. Dia adalah sumber ideku. Sang Paus.

Mungkin kenapa aku menyebut dia paus karena kita tidak bisa bersama. Aku adalah koala. Jadi, sudah jelas Koala dan Paus tidak akan bisa bersama. Koala di darat, sedangkan paus di laut. Kita sudah beda tujuan. Ini hanya alasan kenapa aku memanggil dia Paus, tapi bukan alasan kenapa aku memanggil orang yang aku sayang Paus. Bingung yah? Intinya seperti itulah. Ada banyak puisi yang sudah aku buat untuk dia. Siapa tau Koala ini bisa jadi penyair, dan Paus membaca karya-karya Koala. Aku harap ini menjadi nyata.  

Aku tidak tau kapan tepat aku menyukainya, mungkin saat kelas tujuh, mungkin saat dia selalu menganggapku keluarganya, atau mungkin saat dia selalu menghubungiku untuk bertanya adakah tugas rumah yang akan dikumpulkan besok. Rasanya percakapan-percakapan sederhana itu mampu membuatku jatuh cinta kepadanya. Sekali lagi, senyumnya adalah kebahagiaan tersendiri untukku. Suara tawanya yang selalu terdengar membuatku tersenyum sendiri.

Saat itu dia tertawa dengan temannya, jelas matanya menyipit saat tertawa, pundaknya selalu bergerak ke atas ke bawa setiap kali dia tertawa. Aku dapat mengingatnya, aku satu kelas dengan dia selama tiga tahun, dalam satu minggu aku bertemu dengan dia enam kali. Jelas aku ingat banyak hal. Aku masih sering melihat video-video Ketika kami masih satu kelas. Lagi-lagi, yang kuputar adalah suara tawanya.

0 komentar