Ratu | Bagian 10 | Dia yang selalu ada


 Seharusnya aku memilih dia, seharusnya aku mencintai dia, bukan laki-laki itu yang selalu mengacuhkanku.
Dia yang selalu ada
Sudah lima belas menit Ratu menunggu teman-temannya di depan kelas. Biasanya laki-laki itu selalu tepat waktu, bahkan sepuluh menit sebelum bel pulang pun mereka sudah ada di depan kelas Ratu untuk menjemputnya. Namun, sekarang tidak. Ini pertama kalinya. Mereka juga tidak memberi kabar apapun pada gadis itu. Ketika di telpon pun tidak ada yang menjawab.
“Ayo pulang.”
Ratu tersenyum dan menoleh. Ia pikir itu adalah teman-temannya, ternyata bukan. Seseorang yang mengajaknya pulang adalah Dikta. Tentu, sedikit kecewa yang dirasakan Ratu.
“Kok kamu yang datang?” tanya Ratu, dia masih melihat-lihat, masih berharap ketiga temannya yang datang.
“Mereka nggak bilang ke lo?”
Aku menggeleng.
“Raja, Ksatria, sama Pangeran kan lagi nganterin Risma. Tadi siang, dia pingsan. Yah, katanya sih gitu, makanya gue disuruh jemput lo,” jelas Dikta. 
Lagi-lagi kecewa. Sekarang gadis itu benar-benar merasa bahwa dia sudah terlupakan. Sahabatnya sudah meninggalkan dia demi teman yang lain. Tentu, dia juga semakin benci dengan Risma, baginya Gadis itu tetap merusak pertemanan. Dulu Ratu takut ketiga temannya akan pergi meninggalkannya dengan Risma, dan sekarang ketakutan itu terjadi. Semua yang ditakuti oleh Ratu perlahan menjadi nyata.
“Ra, lo nggak apa-apa?” tanya Dikta yang melihat wajah Ratu mendadak berubah. “Mau pulang atau ke Risma?”
“Pulanglah, ngapain ke cewek itu,” jawab Ratu lalu melangkah mendahului Dikta.
Dikta tersenyum sambil menggelengkan kepala. Dia berjalan menyamai langkah Ratu. “Lo cemburu ya?” 
“Ngapain cemburu.”
“Nggak usah cemburu. Kan masih ada gue,” ucap Dikta lalu merangkul pundak Ratu.
Sejujurnya Ratu sedikit risih dengan perilaku Dikta, karena ini pertama kalinya ada seorang laki-laki yang merangkul Ratu, selain ketiga temannya. Ratu senang, tapi tidak begitu senang. Ada yang mengganggu perasaannya, ketakutan, kekhawatiran.
Tiba-tiba ada seseorang yang mengangkat tangan Dikta dari pundak Ratu.
“Eits, gue nyuruh lo jemput Ratu. Bukan ngerangkul,” kata Pangeran yang tiba-tiba ada di belakang mereka sambil membawa empat tas.
Ratu dan Dikta menoleh.
“Kok lo di sini?” tanya Ratu, pandangannya beralih pada tas-tas yang sedang dibawa Pangeran. “Mau balik ke Risma, yah?”
Pangeran mengangguk. “Iya. Jadi lo pulang sama Dikta ya,” kata Pangeran. “Jangan diapa-apain,” lanjutnya beralih pada Dikta.
“I-” belum selesai Dikta menjawab Pangeran. Ratu segera menyeret laki-laki itu karena kesal.
Pangeran mengerutkan kening, lalu berlari mendekat. “Jangan marah, Ra,” katanya menenangkan Ratu.
Tak ada jawaban dari gadis itu. Ia masih saja berjalan dengan muka yang ditekuk, tak peduli dengan Pangeran atau Dikta. 
***
Ratu diam di kamarnya. Merutuki nasib bahwa sekarang dia di tinggal sendiri, teman-temannya masih di rumah sakit untuk menjaga Risma. Dan sekarang perut Ratu sedang bunyi, ia belum makan sejak pulang sekolah, karena malas. 
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, menampakkan Pangeran yang sedang tersenyum. Laki-laki itu masuk kamar Ratu, membawa nampan yang berisi nasi goreng dan segelas jus mangga. 
“Nih, makan,” katanya sambil meletakkan nampan itu di meja dekat kasur Ratu.
Gadis itu tak menjawab, ia pura-pura tidur. Dia masih kesal dengan Pangeran yang tidak mempedulikannya. Ah, bukan hanya pada Pangeran, tapi juga pada Raja dan Ksatria.
Pangeran berjalan mendekat ke Ratu, mendekatkan wajahnya ke telinga gadis itu. “Bangun!” teriak Pangeran yang membuat Ratu terkejut.
“Pangeran!” bentak Ratu lalu melemparkan segala macam barang yang di dekatnya pada Pangeran. Hingga akhirnya, sebuah boneka panda berwarna coklat menyentuh air putih yang tadi di bawah Pangeran, jus itu tumpah membuat nasi goreng menjadi tak karuan.
“Ups, maaf,” kata Ratu yang masih tertegun.
Pangeran terdiam sejenak, memandang nasi goreng yang sudah ia buat dengan susah payah itu. Namun, sekarang sudah tidak bisa dimakan. Akhirnya dia mengambil nampan itu dan pergi meninggalkan kamar Ratu dengan kesal. 
“Pangeran,” panggil Ratu sambil mengikuti Pangeran dari belakang. “Maaf,” katanya, namun tak ada jawaban dari Pangeran.
Ratu menghela nafasnya, ia memikirkan suatu tindakan yang mungkin akan membuat Pangeran mau memaafkannya. Ia melangkah mengambil nasi goreng tersebut dari tangan Pangeran, lalu menyuapkan satu sendok ke mulutnya. Walaupun rasanya tidak enak, Ratu masih tetap mengunyah nasi goreng tersebut.
“Gila lo yah,” kata Pangeran ketika melihat tindakan Ratu. 
Pangeran mengambil kembali nasi goreng itu, lalu membuangnya ke tempat sampah. Dia melangkah mengambil satu gelas air putih untuk Ratu.
“Minum,” katanya. “Kalau lo sakit gimana,” lanjutnya berkata dengan nada khawatir.
“Maaf. Gue kan cuman nggak mau lo marah.”
“Gue bakalan lebih marah kalau lo bertindak kayak gini,” ucap Pangeran. “Jangan kayak gini lagi. Emang enak apa nasi goreng dicampur sama jus mangga,” lanjutnya sambil mengelus rambut Ratu dengan pelan.
***
Gadis dengan piyama berwarna hitam itu mulai membuka mata ketika matanya terpapar cahaya matahari. Ia merenggangkan tubuh, melirik jarum jam yang menunjukkan pukul delapan. Ada senyum di bibirnya ketika menyadari bahwa hari ini adalah hari sabtu, waktunya untuk kembali tidur, menikmati liburan di dalam kamar.
Sebelum dia menidurkan tubuhnya lagi. Ia menyadari sesuatu, ada seseorang yang sedang tertidur di sofa kamarnya. Dia melangkah mendekat, membuka selimut tebal berwarna biru itu. Memperlihatkan sosok Pangeran yang sedang tertidur pulas, kedua tangannya mengepal seperti bayi, itu kebiasaan Pangeran ketika tidur.
Kemarin malam Pangeran datang ke rumah Ratu dalam keadaan tidak baik-baik saja. Wajahnya penuh lebam, gadis itu tidak tahu bagaimana sahabatnya ini terluka, karena Pangeran tidak mau cerita. Dia hanya menyuruh Ratu untuk membersihkan lukanya, dan meminta izin untuk tidur di rumah Ratu. Dia memilih tidur di kamar Ratu, karena jika tidur di tempat lain dan pembantu Ratu tau bahwa wajahnya lebam, mereka akan mengadu pada Niko, tentu saja Pangeran tidak ingin mereka tau.
Tangan Ratu bergerak mengusap pelan kepala Pangeran. Ia tersenyum menatap laki-laki itu. Menatap wajah Pangeran.
“Naksir gue baru tau rasa lo,” tiba-tiba Pangeran bersuara, diikuti oleh matanya yang mulai terbuka.
Mata mereka bertemu. Tidak, ratu tidak mengalihkan pandangan. Dia masih saja menatap Pangeran, masih dengan senyumnya juga. 
“Apa?” tanya Pangeran yang masih bingung dengan tindakan Ratu. “Ra, ini deket banget loh. Kalau tau Pembantu atau Om Firza bisa bahaya,” lanjutnya was-was.
Sejujurnya jantung laki-laki itu sedang berdegup tak karuan. Bagaimana tidak, Pangeran masih tetap lelaki normal. Tidak mungkin dia tahan ketika bangun tidur tiba-tiba ada perempuan yang sedang memandangnya sambil tersenyum.
Ratu menjauhkan wajahnya, lalu duduk di lantai. “Cuman lo yang ada sekarang. Raja sama Ksatria pergi,” katanya sambil menunjukkan wajah kecewa.
Pangeran bangun dari tidurnya, duduk menghadap Ratu, memegang kepala gadis itu dengan kedua tangan. “Raja harus jaga Risma, dan Ksatria, dia pergi ke Bogor karena ada acara. Gue yang paling nganggur di sini.”
“Oh, jadi lo mau ke rumah gue cuman karena nganggur?” Ratu memukul pelan lengan Ratu. “Sekarang, kenapa muka jelek lo jadi tambah jelek gini?” Ratu memegang luka Pangeran yang belum kering itu dengan pelan.
“Berantem sama Dodit,” jawabnya sambil menyingkirkan tangan Ratu dari wajahnya.
“Kenapa?”
“Ada sesuatu.”
“Iya, apa?”
Pangeran beranjak dari duduknya. “Gue mandi dulu,” ucapnya yang tentu saja ingin mengakhiri perbincangan itu.
“Pangeran kenapa?!” bentak Ratu.
Pangeran menghela nafas, berbalik dan berkata, “Dia bilang lo cewek murahan.” Pangeran mengelus pelan kepala Ratu. “Padahal lo cewek paling mahal yang gue kenal. beuh, saking mahalnya, sampai nggak bisa beli pakai uang,” lanjutnya lalu tersenyum.
***
Pangeran duduk di depan ruangan VIP-3, ruangan tempat Risma dirawat. Dia memutuskan untuk datang menjemput Raja, karena laki-laki itu sejak kemarin tidak pulang. Dan dia juga memutuskan untuk menunggu Raja di luar, ia tidak ingin bertemu Risma untuk sesaat.
Raja keluar dari ruangan itu, masih dengan kaos hitam dan celana pramuka, berarti laki-laki ini benar-benar tidak pulang.
“Apa?” tanyanya.
Pangeran menoleh. “Pulang dulu gih, mandi, ganti baju, dan temui Ratu,” kata Pangeran.
Raja menggeleng. “Risma nggak mau ditinggal,” jawabnya singkat.
“Pulang bentar lah. Lo juga butuh istirahat, Ja. Lagian di sini ada yang jaga.”
Raja menggeleng sebagai jawaban.
“Temui Ratu bentar lah. Masa nggak bisa sih,” kata Pangeran yang masih saja berusaha membujuk Raja.
Tujuan awal Pangeran datang sebenarnya hanya untuk menyuruh Raja pulang. Namun, tiba-tiba Ratu menelpon, dia ingin Pangeran menyuruh Raja pulang, karena gadis itu tidak ingin Ratu menyaksikan Raja yang sakit hanya karena seorang perempuan yang bagi ratu merebut segalanya. Apalagi Raja tidak mengangkat telpon Ratu, itu membuat gadis itu cemas.
“Jaga dia sebentar,” kata Raja.
“Yah, lo temui dia sebentar, atau angkat telponnya.”
“Kalau lo ke sini cuman buat bahas ini. Mending lo pulang,” kata Raja sambil menepuk pundak Pangeran.
“Apa susahnya sih angkat telpon dia? Risma ngelarang lo? Kenapa, dia cemburu sama lo? Kalau dia suka sama lo kenapa dia nolak lo dulu.” Amarah Pangeran sudah benar-benar di puncak. “Yang minta ketemu sama lo Ratu, bukan cewek lain. Dia Ratu! Cewek yang lo bilang paling lo sayang, tapi berubah waktu Risma datang.”
Rahang Raja mengeras, kedua tangannya sudah mengepal. “ Wajah lo udah lebam, jangan buat gue nambah lebam itu,” katanya lalu menghilang dibalik pintu.
Pangeran mengepalkan tangannya, ingin sekali dia menonjok wajah tak bersalah Raja. Tapi dia harus menahan itu semuanya, dia tidak ingin persahabatannya hancur hanya karena hal sepele. Kata sahabat yang buat Pangeran harus mengubur segala perasaannya, perasaan apapun. Laki-laki ini hanya terlalu mencintai sahabatnya, dia hanya tidak ingin melihat sahabatnya terluka. Hanya itu. 


0 komentar