Ratu | Bagian 8 | Cara Memendam Rasa


Cara memendam rasa
Raja berjalan sambil menggandeng tangan Risma. Ia tidak peduli dengan sekitar, bahkan ia lupa bahwa pagi ini dia berangkat bersama ketiga temannya juga. Sedangkan Ratu, Pangeran, dan Ksatria terdiam di belakang mereka, melihat bagaimana tingkat kebucinan sahabatnya itu. Mungkin jika Raja bukan sahabat mereka, Ksatria sudah memukul kepala laki-laki tampan itu.
Bukankah kenyataan memang begitu? Ketika sahabat punya pacar, maka kita hanya sebatas teman pelarian. Itu yang selalu terjadi, tak akan ada lagi cerita-cerita indah, yang ada hanya cerita-cerita seseorang yang bagi sahabat kita adalah manusia paling indah. Seperti itulah kenyataan pertemanan. 
“Sat, jangan pacaran yah,” ucap Pangeran sambil memandang Raja dan Risma yang semakin menjauh. “Nanti lupa diri,” lanjutnya sambil menggelengkan kepala.
Disini yang paling waras adalah Ksatria dan jika Ksatria memiliki kekasih, lalu berperilaku seperti Raja. Sudah berakhir pertemanan, itu karena sudah tidak ada Ksatria yang menjaga. Hanya ada Ratu dan Pangeran yang selalu bertengkar karena Raja pergi dengan gadis lain.
Ksatria menoleh ke Pangeran dan menjawab, “Lah, gue kan udah punya pacar.”
Ratu dan Pangeran secara bersamaan menoleh ke Ksatria. “Serius? Kapan?” tanya mereka.
“Kemarin malam, makanya gue nggak ke rumah Ratu,” jawabnya dengan sangat santai.
“Ngapain pacaran, sih?” tanya Pangeran dengan kesal, ia mengacak rambutnya. “Terus gue harus pacaran sama siapa?”
“Sama Ratu tuh,” jawab Ksatria asal, lalu pergi meninggalkan mereka.
Pangeran memicingkan mata pada Ratu. “Ogah,” katanya lalu ikut pergi.
“Ratu juga nggak mau pacaran sama Pangeran, Ratu maunya pacaran sama Dikta!” ucap Ratu sedikit berteriak.
“Lo mau pacaran sama gue?” Ratu terdiam mendengar pertanyaan itu, ia tau pemilik suara itu.
Gadis itu menoleh, melihat Dikta yang berdiri tak jauh darinya. Laki-laki itu berjalan mendekat ke Ratu, terlihat ia membawa totebag yang entah berisi apa. Tentu saja mereka menjadi pusat perhatian sekarang, bagaimana tidak, Dikta memakai seragam sekolah yang bukan sekolahnya.
Laki-laki itu mengunakan seragam sekolahnya, entah bagaimana dia datang ke sekolah Ratu yang jelas-jelas membutuhkan waktu satu jam untuk ke sekolah miliknya. Dia juga sepertinya membawa mobil, nanti kemacetan akan membuat dia terkena hukuman. Tapi Dikta sudah tau resiko itu, dan laki-laki itu sama sekali tidak peduli.
“Dikta, kok tiba-tiba di sini?” 
“Nih,” ia menyodorkan totebag berwarna hitam itu. “Disuruh Om Firza nganterin baju olahraga lo yang ketinggalan,” lanjutnya.
Dengan gugup Ratu mengambil totebag itu, “Oh iya, makasih,” ucapnya. “Ratu pergi dulu yah,” lanjutnya.
Ratu hendak pergi, namun dengan segera Dikta mencegah langkah gadis itu. “Jawab dulu pertanyaan gue. Emang lo mau pacaran sama gue?” Dikta menunjukkan tatapan dan senyum menggoda, dia sangat gemas ketika melihat Ratu salah tingkah. Karena sangat lucu saja.
Ratu menggelengkan kepala dengan cepat. “Enggak kok, enggak. Ratu cuman bercanda,” jawabnya.
“Oke kalau gitu. Gue balik dulu yah,” ucapnya lalu meninggalkan Ratu.
Ratu berjalan sambil memukul kepalanya pelan. Bodoh, bodoh, bodoh. Jangan diulang lagi Ratu. Nggak boleh, malu.
***
Ratu terdiam di tempatnya ketika melihat Raja dan Risma duduk di meja ‘Ratu’ itu. Ia juga dapat melihat Pangeran yang terdiam, lalu membalikkan badan untuk kembali ke kelas. Gadis itu tentu tau apa yang sedang dirasakan oleh sahabatnya itu, karena apa yang sedang dirasakan Pangeran, dia juga merasakannya.
Cinta bertepuk sebelah tangan, memendam perasaan adalah sesuatu hal yang sering terjadi di antara pertemanan. Tak ingin kehilangan, tak ingin segalanya runyam adalah alasan. Mungkin, jika sudah ada kepastian tentang jawaban, seseorang akan bisa jujur dengan perasaan. Namun, mau bagaimana lagi, tidak ada yang tau tentang perasaan orang yang disukai. Jawaban ‘tidak’ adalah momok bagi mereka yang mencintai sepihak.
Ratu juga berjalan kembali, mengikuti Pangeran dari belakang. Gadis itu memperhatikan dari belakang, sekarang ia tau bahwa Pangeran memang sedang patah hati. Karena Pangeran adalah laki-laki ramah, yang akan selalu menjawab ketika disapa. Namun sekarang, laki-laki itu hanya berjalan dengan tatapan lurus, tanpa menjawab orang-orang yang dari tadi menyapanya. Mungkin bisa dibilang aneh, karena Pangeran bukan orang yang pintar dalam mengungkapkan perasaan, tapi sekarang dia malah menunjukkan bahwa sedang patah hati.
Ratu berjalan dengan cepat ketika ia melihat Pangeran yang hendak melompat pagar belakang sekolah. Gadis itu tau bahwa Pangeran akan kabur dari sekolah, karena itulah Pangeran. Ia tidak pernah bertahan di tempat yang membuatnya kacau. Ia akan memilih untuk pergi, daripada orang lain menjadi korbannya.
“Lo mau kemana?” tanya Ratu, dengan sigap ia memegang tangan Pangeran.
Laki-laki itu menoleh. “Yah mau keluar lah, mau kemana lagi emang,” jawabnya sambil melepas tangan Ratu dengan pelan.
“Ngapain?”
“Gue bosen di sekolah,” katanya sambil mengacak rambutnya dengan kesal. “Lo balik sana, sebelum ada guru. Nanti gue malah nggak bisa kabur,” lanjutnya.
Ratu menggelengkan kepala. “Lo harus balik bareng sama gue. Hari ini lo kan ada penilaian tengah semester.”
“Ulangan susulan kan bisa, kenapa dibuat ribet, sih?”
“Lo itu yah. Nggak usah nyebelin deh. Gue bilang balik yah balik,” ucap Ratu lalu menarik tangan Pangeran.
Pangeran menghela nafas, ia akhirnya menurut dengan Ratu. 
“Gue mau pergi, Ra,” kata Pangeran dengan suaranya yang dingin.
Ratu berhenti, perlahan ia melepas tangan Pangeran. “Oke, terserah lo,” kata Ratu lalu meninggalkan Pangeran yang berdecak kesal.
Mungkin itu yang diperlukan bagi seseorang yang sedang patah hati. Membiarkan dia sendiri. Menenangkan diri. Terkadang, bersama teman tidak bisa menjamin kita akan melupakan masalah. Malah, bisa saja kita mengingat segala masalah. Itu sebabnya sendiri adalah jalan, karena jika kita sudah sendiri maka kita akan lebih terbuka dengan diri sendiri. Tanpa memakai topeng, tanpa harus berbohong.
***
“Ja, bisa antar Ratu ke perpustakaan sebentar?” tanya Ratu pada Raja yang sedang duduk sambil menatap layar ponselnya.
Raja menoleh. “Maaf. Gue harus pergi sama Risma,” jawabnya.
Tentu saja Ratu kecewa. Mungkin memang sudah tak akan ada lagi waktu bersama teman jika sudah ada sang pacar, karena memang teman bukan lagi prioritas. Pacar adalah nomor pertama. 
“Sebentar aja,” kata gadis itu, masih berharap agar Raja mau mengantarkannya. 
Pangeran sedang ada urusan keluarga, sedangkan Ksatria, dia sedang mengurus adiknya yang sedang ada acara di sekolah, karena Alfian dan Asta tak bisa datang. Sekarang, yang tersisa hanya Raja.
“Nggak bisa,” kata laki-laki itu lalu bangkit berjalan keluar.
“Raja bisa nggak sih berhenti ngurus Risma?” tanya Ratu dengan sedikit berteriak. Gadis itu benar-benar kehilangan kesabaran, ia sudah tak tahan melihat tingkah sahabatnya itu, dan dia juga sudah tak tahan melihat perilaku Raja yang semakin hari semakin aneh.
“Gue udah janji sama Risma.”
“Cuman nganterin gue ke perpustakaan, terus lo bisa pergi. Telat sepuluh menit aja masa dia marah?”
“Tetep aja telat, Ra.”
“Risma nggak akan marah, Ja. Sebentar aja, kamu tau Pangeran sama Ksatria nggak bisa.”
Raja menggelengkan kepala. “Gue nggak bisa.”
“Begitu berharganya Risma buat lo yah, sampai-sampai nganterin gue aja lo nggak bisa.” Ratu menghela nafas sejenak. “Risma emang berharga banget buat lo sedangkan gue enggak. Iya, gue tau itu. Tapi lo juga harus inget, gue sahabat lo, gue ada lebih dulu dari dia.”
“Ra, jangan egois,” suara Raja mulai terasa dingin, itu artinya laki-laki itu sudah ingin marah.
“Egois lo bilang?” tanyanya. “Kalau lo bisa buka mata lo, kalau lo mau ngelihat orang-orang di sekitar. Lo akan tau, di sini yang egois gue atau lo,” tegas Ratu, dia mengambil ponsel dari sakunya, menghubungi Dikta. Tak lama, telpon itu tersambung. “Kak, bisa antarin aku ke perpustakaan sebentar? Iya, aku tunggu. Makasih, Kak,” Ratu menutup telepon, ia memperhatikan Raja sambil menggelengkan kepala.
“Bener kata orang, sebaik apapun kita ke teman, akan dilupakan jika sudah ada pasangan.”
“Gue antar,” kata Raja sambil menarik tangan Ratu.
Ratu melepas tangan Raja dengan paksa. “Nggak perlu. Lo urus aja cinta lo itu, urus dia sampai lo puas. Mungkin emang bener kata temen gue tadi. Sekarang, gue cuman punya Pangeran dan Ksatria. Ah tunggu, dan Dikta,” Ratu tersenyum dengan kesal. “Urus Risma, sampai lo bener-bener sadar sama sekitar. Inget, Ja, dunia nggak selalu mengelilingi lo.”
“Ra, bisa udah? Gue nggak suka berantem sama lo,” ucap Laki-laki itu, mengacak rambutnya dengan frustasi. “Apa salah gue memprioritaskan orang yang gue cinta? Apa salah gue mau buat orang yang gue cinta bahagia dengan cara nggak buat dia kecewa?”
Ratu menggelengkan kepala. “Lo nggak salah. Yang salah adalah gue, karena gue terlalu berharap lo nggak akan berubah meski Risma kembali. Ternyata gue salah, perempuan itu masih jadi yang terpenting di hidup lo.”
Laki-laki itu tak menjawab, ia kesal dengan perdebatan ini. Perdebatan yang tentu hanya berakhir tak jelas. Ia pergi meninggalkan Ratu ketika mendengar suara mobil memasuki halaman rumah, tentu saja itu adalah suara mobil Dikta. Dikta sedang berada tak jauh dari rumah Ratu, itu sebabnya ia datang dengan cepat. Dan ya, tanpa ragu atau apapun, Dikta selalu mau membantu gadis itu. 
Ratu menundukkan kepala dengan lesu. Jangan pergi, Ja. Gue mohon. Cukup jadi sahabat gue, nggak apa-apa. Tapi tolong jangan tinggalin gue. Gue nggak mau kehilangan lo. Ja, balik, balik, balik.
Ratu berjalan ke arah Dikta. Laki-laki itu sudah berdiri di samping mobilnya, dengan kedua tangan yang ia masukan kedalam saku celana. Dia hanya memakai kaos berwarna hitam, dengan celana jeans selutut dan sepatu kets berwarna hitam. 
Tanpa menyapa Dikta, gadis itu langsung masuk mobil, lalu disusul oleh Dikta.
“Doi nggak cinta sama kita, bukan berarti kita berhenti jatuh cinta. Kadang, perasaan perlu dibuat kayak gitu, biar tau gimana rasanya patah hati tahap pertama,” tiba-tiba Dikta berkata seperti itu, lalu ia mengambil sebuah kantong belanja dari kursi belakang. “Nih, pengobat patah hati dari gue,” lanjutnya memberikan kantong itu pada Ratu.
Ia membuka kantong berwarna merah itu. Isinya adalah sebuah tiket teater beserta gaun berwarna putih, gaun sederhana yang terlihat sangat elegan. 
“Buat apa? Kata siapa aku patah hati?”
“Buat kamu. Dari Pangeran,” jawabnya, tangan kirinya terangkat menepuk kepala Ratu. “Cinta bertepuk sebelah tangan adalah patah hati tahap pertama, nanti tahap terakhirnya adalah ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Dan lo harus melewati beberapa tahap patah hati. Jadi yang sabar,” lanjutnya lalu tertawa.

1 komentar