Ratu | Bagian 7 | Gue Benci Lo Nangis!


Gue benci lo nangis!
Ratu berjalan menyusuri lorong sekolahnya bersama dengan Pangeran, mereka sedang menuju ruang guru, Raja tiba-tiba memanggilnya. Ratu yang sedang sibuk dengan ponselnya, dan Pangeran yang sibuk dengan kuku panjang di jari kelingkingnya. Mereka tidak berkomunikasi sama sekali, hingga akhirnya Pangeran berhenti melangkah karena seseorang memanggil namanya.
Laki-laki itu menoleh, diikuti oleh Ratu. Mereka terdiam menatap gadis yang berdiri tak jauh dari mereka, gadis yang memakai kaos berwarna hitam, dengan cardigan berwarna coklat, gadis dengan wajah yang sedikit pucat namun memberikan senyuman yang sangat tulus. Gadis itu adalah Risma.
“Lo kok di sini?” tanya Ratu yang masih tercengang.
Gadis itu mendekat, dan menjawab, “Iya, mulai besok gue udah sekolah.”
Pangeran mengangguk mengerti. Dia masih tetap bersikap biasa saja, berusaha menutupi jantungnya yang berdegup dengan kencang. Menutupi rasa-rasa senang sekaligus khawatir. Senang karena dia akan selalu bertemu dengan Risma, dan khawatir karena kemungkinan hari-hari patahnya akan terulang kembali.
“Kalian mau ke ruang guru, kan? Disuruh Raja, kan?” tanya Risma dengan penuh semangat.
Mereka mengangguk menjawabnya. Lalu melangkah mendahului Risma. 
“Ran, kenapa kita canggung banget sama Risma ya?” tanya Ratu sambil menatap lurus ke depan.
“Gue juga nggak tau,” jawab Pangeran sambil mengangkat kedua bahunya. 
Mereka berjalan menuju ruang guru, seperti yang sudah diperintahkan oleh Raja, dan mungkin sekarang Ksatria sudah duduk di sana bersama Raja. Sekarang, Pangeran sedang bingung dengan perasaannya, harus senang atau sedih, Ratu pun begitu, gadis itu takut bahwa ia akan kehilangan sahabatnya lagi. Ia belum siap untuk itu.
Mereka memasuki ruang guru. Benar, Ksatria sudah duduk di sana bersama dengan Raja. 
“Ada apa?” tanya Pangeran, lalu duduk di samping Ksatria, yang diikuti oleh Ratu.
“Risma udah balik sekolah lagi,” jawab Raja. “Gue pikir ini kabar bahagia buat kalian. Karena kita udah lengkap,” lanjutnya sambil menunjukkan senyuman yang jarang sekali muncul di wajahnya. 
“Ratu tau kok,” ucap Ratu, ia berdiri dan berkata, “Ratu mau ke kantin dulu yah. Laper,” Gadis itu pergi meninggalkan teman-temannya yang masih kebingungan, karena Ratu jarang sekali mau ke kantin sendiri.
***
Pangeran berjalan mendekati Ratu yang sedang duduk di taman sendiri. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak satu jam yang lalu, bahkan langit sudah mulai gelap, namun gadis itu tak kunjung meninggalkan sekolah. Ia masih tetap duduk. Ia masih memikirkan sesuatu yang mengganggu pikirannya, pikirannya sedang kacau karena hal yang belum pasti. 
“Ngapain sih nggak pulang-pulang?” tanya Pangeran. Bahkan laki-laki itu sudah selesai latihan basket, seragam khas sekolahnya sudah dicopot digantikan dengan kaos putih yang basah karena keringatnya. 
Ratu menoleh sambil tersenyum. Ia langsung menyandarkan kepalanya ke bahu Pangeran. “Ratu pusing,” katanya, lalu memejamkan mata. 
“Badan gue basah, bau gue nggak enak,” ucap Pangeran sambil mengangkat bahunya berkali-kali agar Ratu menyingkirkan kepalanya. 
Gadis itu tidak menggubris ucapan Pangeran, ia masih tetap memejamkan mata, seakan-akan tak ingin beranjak dari tempat itu. Ia juga tidak peduli dengan bau badan Pangeran yang memang benar-benar bau, bukan bau tidak enak, namun bau khas tubuh Pangeran. 
“Kenapa, sih, Ratu gue?” tanya Pangeran sambil mengusap kepala Ratu dengan lembut. “Kenapa tiba-tiba badmood gini?”
Tanpa menjawab, tiba-tiba gadis itu menangis. Ia menangis tersedu-sedu, membuat laki-laki di sampingnya itu terkejut. Pangeran mengambil seragam yang tadi ia simpan di dalam tas, lalu memakaikannya di kepala Ratu, agar tidak ada yang tau bahwa gadis itu menangis. 
Pangeran tau bahwa Ratu sama sekali tidak suka jika ada seseorang yang melihat air matanya. Ratu lebih sering menangis sendiri di dalam kamar, dan jika ia sudah menangis di depan umum seperti ini, itu artinya gadis itu sudah tak kuat menahan kesedihannya sendiri. 
“Nangis aja, nggak apa-apa,” kata Pangeran, sambil memeluk erat tubuh Ratu. “Ra, gue paling benci kalau ngeliat lo nangis. Kenapa, sih lo nangis?”
“Ratu capek,” jawabnya yang masih terisak.
“Iya, capek kenapa?”
“Ratu nggak lesbi Pangeran. Ratu suka sama cowok. Ratu nolak semua cowok bukan karena Ratu nggak suka cowok, Ratu nolak karena Ratu suka sama orang lain,” jelasnya.
“Iya, gue tau.” Pangeran mengangkat kepala Ratu, lalu mengarahkan wajah gadis itu agar menghadapnya. “Cukup lo denger omongan gue. Percaya sama gue, semua yang udah mereka omongin, nggak akan lo denger lagi mulai besok. Jadi, nangisnya udahan yah?”
Ratu menggelengkan kepala dengan cepat. “Pangeran nggak akan nyakitin mereka, kan?” tanyanya dengan khawatir. 
Pangeran mengangkat kedua bahunya. “Kalau mereka masih bisa diajak bicara baik-baik mungkin enggak, tapi kalau susah yah, mungkin pindah sekolah, atau gue diskors,” jawabnya dengan tenang.
“Jangan,” kata gadis itu sambil memegang lengan Pangeran. “Biarin aja. Jangan ngelakuin apapun,” lanjutnya.
Pangeran mengangguk menuruti Ratu. Jika sudah seperti ini, Pangeran akan berubah menjadi seorang yang sangat baik, ia tidak akan memarahi Ratu atau memulai perdebatan. Pangeran sangat menyayangi Ratu, itu kenyataannya, walaupun sering bertengkar, tetap saja Pangeran adalah orang pertama yang paling benci ketika melihat Ratu menangis. 
***
Ratu duduk di sofa bersama dengan Pangeran, mereka sedang menunggu Raja dan Ksatria. Ksatria yang masih belum pulang dari kerja kelompok, dan Raja yang entah kemana, mungkin saja sedang bersama dengan Risma. Yang jelas mereka sudah memiliki janji untuk bertemu.
“Ra, tugas sejarah wajib lo udah selesai apa belum?” tanya Pangeran yang sedang menikmati kacang goreng kesukaannya.
“Yang mana?”
“Yang bab pertama, yang skema.”
Ratu mengangguk. “Udah. Udah ulangan juga.”
“Nyontek, dong,” kata Pangeran lalu pergi ke kamar Ratu untuk mengambil buku itu.
Ratu kembali terfokus pada televisinya. Ia sedang menonton acara azab yang tentu saja selalu membuatnya ingin marah, namun tidak ada yang bisa ditonton selain itu. Ratu sangat jarang menonton televisi, karena gadis itu lebih suka melihat layar kecil di ponselnya daripada layar besar itu. Dia sudah benar-benar bosan dengan acara-acara yang ada di televisi jaman sekarang, sangat tidak bermanfaat baginya. 
Tak lama, seseorang memasuki ruang keluarga itu. Memperlihatkan seorang laki-laki yang sedang membawa tas perempuan, dia adalah Raja. Selang beberapa menit, seorang perempuan masuk, mungkin dia adalah pemilik tas itu. Gadis itu adalah Risma.
“Pangeran sama Ksatria mana?” tanya Raja sambil mengelilingkan pandangan, mencari dua temannya itu.
“Pangeran lagi ke kamar, Ksatria masih kerja kelompok,” jawab Ratu sambil menunjukkan wajah tidak suka. 
“Ris, duduk. Nggak usah canggung, dulu kamu kan juga sering ke sini,” ucap Raja sambil tersenyum dan mempersilahkan Risma untuk duduk di sampingnya. 
Risma tersenyum, lalu duduk di samping Raja. Gadis itu benar-benar senang hari ini, karena sehari penuh ia bersama dengan Raja. Laki-laki itu tak mungkin meninggalkan Risma sendiri.
“Ra, gue mau ngungkapin perasaan gue ke Risma,” ujar Raja, lalu mengalihkan pandangan ke Risma. “Ris, aku suka kamu, dari dulu. Kamu mau nggak jadi pacarku?” 
Ratu tersenyum, lalu pergi ke kamarnya. Gadis itu menangis tanpa sepengetahuan Raja, dia berlari sedikit.
“Ra, lo kenapa?” tanya Pangeran yang baru saja keluar dari kamar Ratu.
Ratu memeluk Pangeran dengan erat. Ia benar-benar tersakiti. Iya, selama ini gadis itu mencintai Raja, namun dia tau bahwa laki-laki yang dia sukai itu mencintai orang lain. Sangat mencintai. Ratu terlalu takut untuk menunjukkan perasaannya pada Raja, gadis itu takut tanpa sebab. Baginya, mencintai Raja adalah kesalahan terbesar yang pernah ia lakukan selama ini.
Pangeran balik memeluk Ratu, memeluknya dengan erat. Lagi-lagi ia melihat gadis yang ia sayangi itu menangis di depannya, padahal ia sudah mengatakan bahwa ia benci kalau Ratu menangis. Pangeran sangat tidak suka melihat Ratu menangis, karena jika melihat gadis itu menangis, ia selalu mengingat bagaimana mereka berusaha membahagiakan Ratu.
“Ratu sakit,” kata gadis itu di tengah-tengah isakannya. 
“Gue tau,” jawabnya. “Ra, jatuh cinta itu nggak salah, yang salah adalah bagaimana lo berharap. Kalau kata Ksatria, setelah manusia jatuh cinta, patah hati dan kekecewaan akan selalu menemani. Jangan pernah nganggap jatuh cinta adalah sebuah kesalahan, nggak, Ra. Lo nggak salah jatuh cinta ke Raja.”
Gadis itu mendongak, menatap Pangeran dengan wajah sedunya. “Ratu nggak jatuh cinta ke Raja kok,” ucapnya dengan suara yang bergetar. “Ratu jatuh cintanya ke Dikta,” lanjutnya.
Pangeran tersenyum. “Bahkan kemarin malam Dikta bilang ke gue kalau dia ngeliat lo suka sama Raja.”
“Dikta sok tau,” katanya, ia memasuki kamarnya hendak menutup pintu, lalu berkata, “Pangeran yang sabar yah. Mungkin Risma nggak cinta sama Pangeran, tapi Ratu, Raja, dan Ksatria cinta kok sama Pangeran. Jangan sedih, Ratu juga benci kalau Pangeran sedih.” 
Gadis itu menutup pintu kamarnya dengan rapat, meninggalkan seorang laki-laki yang masih terdiam di tempat. Mungkin ini memang menyakitkan, melihat orang yang kita cintai malah menjadi kekasih sahabat sendiri, tapi bukankah mencintai tak harus memiliki? Sulit memang, tapi mau bagaimana lagi, tak semua perasaan mendapat balasan, tak semua rasa dibalas oleh rasa, kadang penolakan itu memang perlu, bukan?
“Lo cowok bangsat, ngapain pengen nangis,” ucapnya mengumpat untuk dirinya sendiri. 

0 komentar