Ratu | Bagian 5 | Dikta


Dikta
Setelah magrib mereka kumpul di rumah Ratu seperti biasanya. Ksatria dan Pangeran yang baru pulang dari lomba, Ratu yang baru pulang dari sekolah, sedangkan Raja entah dia dari mana karena dia tidak sekolah dan tidak ke Risma. Laki-laki itu sangat suka menghilang tanpa kabar.
Pangeran keluar dari kamar mandi, ia baru saja selesai mandi, rambut basanya membuat dia terlihat sangat tampan. Bahkan laki-laki itu hanya menggunakan kaos polos berwarna hitam, dan celana kain pendek. Tentu karena wajahnya yang tampan itu dia menjadi seorang playboy seperti Niko-Ayahnya- dulu. Tapi yang membuat beda adalah Pangeran terkadang berpacaran dengan tante-tante, karena Pangeran bisa mendapatkan uang banyak. Ia memanfaatkan ketampanannya itu untuk mendapatkan uang.
“Ratu mana?” tanya Raja yang baru saja datang sambil membawa sesuatu di tangannya.
Pangeran menoleh. “Lo dari mana?” ucap Pangeran yang balik tanya ke Raja.
“Beli gaun buat Ratu,” jawabnya. “Ratu mana, Sat?” Ia beralih tanya ke Ksatria, karena Pangeran tak kunjung menjawab pertanyaannya.
“Di kamar,” jawab Ksatria.
Raja mengangguk lalu bangkit dari duduknya, dan berjalan ke kamar Ratu. Raja mengetuk pintu kamar itu, lalu melihat ke arah kunci pintu yang belum diperbaiki setelah didobrak Pangeran waktu itu. 
“Ra, buka,” kata Raja.
Tak lama pintu terbuka, melihatkan Ratu yang hanya memakai kaos kebesaran karena itu adalah kaos milik Pangeran, dan celana pendek. “Apa?” tanya Ratu dengan kesal.
Raja mengerutkan keningnya bingung. “Nih, buat kamu,” ucapnya.
Ratu mengambil tas itu, dan ketika ia membuka. Itu adalah gaun berwarna silver yang cukup indah, bahkan sangat indah. Ratu tersenyum ketika melihat itu, apalagi model gaun itu adalah model yang sangat disukai Ratu. Gaun dengan bagian belakang yang sedikit panjang. Ratu membuka tas yang satunya sebuah kardus yang berisi sepasang high heels berwarna silver yang sangat cocok dengan gaun itu.
“Ini buat apa?” tanya Ratu dengan wajah bahagianya.
“Direbus.”
“Yah, Raja jangan ngelawak dong, garing,” katanya. “Serius ini buat apa?”
“Menurut kamu,” jawab Raja dengan suara serak malas-malasnya.
“Raja mau ngajak Ratu kencan?”
Raja menggeleng. “Besok ada pesta ulang tahun perusahaan bokap gue, Ra.”
Ratu mengerucutkan bibirnya dengan kecewa. “Ratu pikir Raja mau ngajak Ratu kencan.”
“Mau?”
“Raja serius?”
“Kapan-kapan,” jawab Raja lalu pergi turun.
Ratu berlari mengikuti Raja untuk turun sambil berteriak, “Raja serius nggak? Jangan nge-PHP-in Ratu lo ya. Nanti dimutilasi sama Ksatria terus dimakan sama Pangeran.”
Pangeran yang mendengar namanya disebut-sebut langsung bertanya, “Kok gue?”
“Pangeran kan kanibal,” jawab Ratu sambil menjulurkan lidahnya mengejek Pangeran.
Ratu tau itu hanya sebuah candaan yang dilontarkan oleh Raja, karena memang tak akan terjadi. Ratu yang tak suka Raja, Raja yang tak suka Ratu. Raja terkadang memang memperlakukan Ratu seperti seorang kekasih, tapi Ratu tak pernah menganggap perlakuan Raja serius, ia tau tak mungkin, bahkan jika Ksatria yang melakukan itu pun masih tak mungkin.
Gadis itu duduk di samping Pangeran, ia mencoba untuk menggunakan high heels itu. Memakainya sambil tersenyum, ia tau bahwa Raja sangat bingung ketika memilih ini, dia pasti sangat kesusahan. Dia adalah laki-laki yang paling bingung ketika disuruh memilih perlengkapan wanita, bahkan dia bisa menghabiskan waktu tiga jam hanya untuk memilih pita mana yang cocok untuk dipakai Ratu.
“Gimana? Cocok kan sama kaki Ratu?” tanya Gadis itu sambil berdiri.
“Betis lo gede, jadi nggak cocok,” cibir Pangeran.
Ratu hanya melototi Pangeran, lalu beralih menunggu jawaban dari Raja dan Ksatria, karena apapun yang dipakai Ratu akan selalu jelek di mata Pangeran.
“Cocok kok,” jawab Ksatria lalu kembali fokus membersihkan daun-daun kesayangannya.
Raja hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.
***
Pangeran, Raja, Ksatria, dan Ratu telah sampai di gedung perusahaan Leo. Mereka memasuki gedung dengan berjalan berjejeran. Pangeran dan Ksatria menggunakan kemeja putih serta jas hitam yang terlihat cocok di badan. Sedangkan Raja, laki-laki itu malah menggunakan kaos berwarna hitam tanpa menggunakan jas. 
Raja memang lelaki cuek yang jarang memperhatikan penampilan, yang dipikiran dia hanya yang terpenting berpakaian, entah itu sopan atau tidak ia tidak peduli. Kalaupun ada yang mencibirnya, ia akan menjawab dengan Ini hidup saya, selama apa yang saya lakukan tidak mengganggu hidup anda, maka tugas Anda hanya harus diam.
“Akhirnya kalian datang,” ucap Leo ketika melihat mereka. Leo menggelengkan kepala ketika melihat pakaian anaknya. “Raja, ambil jas Papa di mobil,” ucapnya.
“Nggak perlu, terimakasih,” jawab Raja, lalu pergi begitu saja.
Leo hanya bisa menggelengkan kepala melihat anaknya itu. Tak ada yang bisa dilakukan Leo, jika Raja sudah menolak ya sudah, tidak bisa dipaksa lagi. Karena ketika Raja masih kelas empat SD, Raja pernah kabur satu minggu hanya karena dipaksa Leo untuk berhenti main game. Yah, anak kelas empat SD, sudah bisa kabur dari rumah selama satu minggu tanpa uang. Raja kerja di warung sebagai pencuci piring, itu sebabnya ia bisa bertahan selama satu minggu. Lalu tidur di masjid. Ia pulang ke rumah karena Leo berhasil menemukannya, jika tidak berhasil Raja tidak akan pernah pulang.
“Selamat malam,” ucap seorang pria berwajah bulat.
Leo tersenyum, menjabat tangan pria tersebut. “Selamat malam, terimakasih sudah datang,” ucap Leo. “Ini anaknya?” tanya Leo pada sambil menunjuk laki-laki yang datang bersama pria bernama Ridwan itu.
“Iya, kemarin Firza menyuruh saya buat ajak dia, katanya mau dikenalin sama anak perempuannya gitu,” jawab Ridwan. “Dikta, perkenalkan ini Om Leo, teman Papa.”
Laki-laki itu tersenyum, menjabat tangan Leo sambil berkata, “Dikta. Senang bertemu dengan, Om.”
Tak lama Firza datang bersama Ratu, Raja, Ksatria, dan Pangeran. 
“Loh, dia kan cowok penjaga perpustakaan,” kata Ratu ketika melihat Dikta. “Iya kan, Ran?” tanya pada Pangeran untuk memastikan.
Pangeran mengangguk, tidak mungkin ia bisa melupakan wajah laki-laki yang disukai oleh Ratu.
“Wah udah kenal ternyata,” kata Firza. “Ra, kemarin Papa bilang kan kalau kamu mau Papa kenalin sama anak teman Papa. Ini dia, namanya Dikta satu tahun lebih tua dari kamu.”
“Dikta,” katanya sambil mengulurkan tangan pada Ratu.
Ratu tersenyum dengan kikuk, lalu membalas uluran tangan Dikta. “Ratu, salam kenal,” katanya. “Mereka temanku, ini Pangeran, Ksatria, dan Raja,” lanjutnya memperkenalkan teman tersayangnya itu.
Dikta tersenyum ke ketiga teman Ratu itu, dia memberikan salam dengan senyum dan sedikit menundukkan kepala. Laki-laki itu terlihat begitu dingin, namun terlihat begitu hangat ketika ia menunjukkan senyum manisnya. Wajahnya terlihat begitu tenang, terlihat seperti tidak memiliki amarah. 
“Ra, ajak Dikta makan-makan sana,” suruh Firza.
Ratu mengangguk, ia tidak mungkin menolak. “Ayo,” kata Ratu lalu jalan mendahului.
Raja, Ksatria, dan Pangeran hendak ikut, namun Firza menghentikan mereka, dan berkata, “Jangan ikut. Biarin anak gue punya pacar. Gue bapaknya, tapi kalian bertiga yang ngelarang-larang.”
“Kan demi keselamatan Ratu,” jawab Ksatria.
“Iya, gue tau. Tapi sesekali biarin dia ngerasain sakit hati, biar dia belajar. Biar dia jadi cewek kuat.”
Ksatria mengangguk, lalu pergi, diikuti Pangeran dan Raja.
“Yakin ngebiarin Ratu sama dia?” tanya Pangeran. “Ja, coba ramal,” lanjutnya menyuruh Raja.
Raja menunjukkan tatapan tajamnya pada Pangeran lalu pergi.
“Liat aja nanti malam, tiba-tiba dateng ke rumah. Terus bilang kalau Ratu dalam bahaya,” ucap Pangeran dengan kesal.
***
Ratu dan Dikta duduk di kursi paling belakang, dengan segelas sirup di tangan mereka. Mereka saling diam, suasana canggung sedang menyerbu, ditambah jantung Ratu yang tiba-tiba berdetak lebih cepat, membuat gadis itu jadi salah tingkah sendiri. Sedangkan Dikta hanya diam dengan pikiran kosong. 
“Kamu kerja di perpustakaan atau apa?” Akhirnya Ratu membuka suara, memecah keheningan di antara mereka.
Dikta tersadar dari lamunannya, menoleh ke Ratu, dan menjawab, “Iya, gue kerja di sana. Btw, gue pake lo-gue nggak apa-apa, kan? Nggak enak kalau terlalu formal.”
Ratu mengangguk. “Nggak apa-apa kok,” jawabnya. “Kenapa kerja? Orang tua Kak Dikta kan orang punya.” 
Laki-laki itu tersenyum. “Ada seseorang yang ingin gue temui disana,” jawabnya.
Ratu terdiam. Kenapa perasaan gue begini? 
“Oh iya, mereka temen-temen lo? Sahabatan gitu?” Lanjut Dikta.
“Iya, kita sahabatan dari kecil,” jawab Ratu. “Walaupun nggak selalu bareng, karena SD kita pernah terpisah.”
“Baru kali ini gue ngeliat cewek-cowok sahabatan tanpa ada rasa sama sekali,” ucapnya lalu meneguk sirup yang ia bawa sampai habis. “Nggak jatuh cinta sama salah-satu dari mereka gitu? Atau salah-satu dari mereka jatuh cinta ke lo gitu?”
Gadis itu menggelengkan kepala dengan cepat. “Nggak. Aku nggak bisa ngerasain apapun kalau sama mereka, kayak udah sama saudara sendiri. Dan mereka? Mereka udah punya pasangan masing-masing.”
“Lo?”
Ratu tertegun, lalu menunjuk dirinya sendiri sambil bertanya, “Aku?”
Dikta mengangguk.
“Nggak. Dari dulu nggak pernah pacaran.”
“Kenapa? Terlalu nyaman sendiri atau gimana?”
“Aku pengen ngerasain pacaran, tapi aku ragu buat pacaran. Itu sebabnya kalau sama cowok aku pasti anggap dia angin lewat yang nggak akan bertahan lama,” jelas Ratu. 
Dikta mengangguk. “Gue pernah ketemu sama lo. Sekitar dua tahun yang lalu, di pasar malam.”
Ratu refleks menoleh, karena terkejut. “Serius? Kok masih ingat? Kok aku nggak tau kalau kita pernah ketemu?” tanyanya dengan antusias.
“Lo nggak ngeliat gue. Dan tentu gue ingat. Perempuan yang mohon-mohon ke teman laki-lakinya biar dia bisa ngedapetin boneka paus, iya kan?”
Ratu terdiam, ia sangat ingat kejadian itu, kejadian memalukan yang ia lakukan hanya agar mendapatkan boneka paus yang sebenarnya bisa dibeli sendiri dengan harga murah. Ketika itu ia pergi bersama Pangeran, dan Pangeran menyuruh Ratu untuk memberikan kalimat-kalimat rayuan di depan banyak orang.
“Ah, kejadian itu. Jangan diinget-inget. Anggap aja pertama kali kita ketemu itu sekarang. Ya ya? Itu kejadian yang sangat memalukan.”
Dikta tertawa melihat wajah Ratu yang memohon-mohon. “Iya-iya, gue akan ngelupain.”
Suasana kembali hening di antara mereka, karena sudah tak ada lagi pembahasan. 
“Kak Dikta sekolah di mana?” Lagi-lagi Ratu yang memecahkan keheningan.
“Gue sekolah di SMA yang deket sama pasar malam itu,” jawabnya.
Ratu mengangguk mengerti. Hatinya benar-benar sedang bahagia, ia terlalu bahagia karena bertemu dengan Dikta. Karena Ratu memang sudah tertarik dengan Dikta sejak pertama kali bertemu di perpustakaan. Dikta terlihat begitu misterius ketika diam, tapi ketika ia bicara, Dikta hanyalah manusia biasa.
Di sisi lain, Pangeran, Ksatria, dan Raja sedang memperhatikan Ratu. Mereka menguping pembicaraan Ratu dengan Dikta di balik jendela belakang Ratu. Bagaimanapun mereka tidak bisa diam saja, mereka takut terjadi sesuatu pada gadis yang mereka sayang itu. Itu sebabnya, mereka memilih berdiri dibalik jendela, hanya karena ingin tau apa yang sedang terjadi.
“Ini yang ngomong bukan Ratu. Sejak kapan tu anak kalau ngomong sekalem ini?” ucap Pangeran sambil menggelengkan kepala.
“Namanya juga jatuh cinta, nggak mungkinkan Ratu salto di depan orang yang dia suka?” sahut Ksatria.

0 komentar