Ratu | Bagian 4 | Putra Cs


Putra CS
Gadis dengan topi hitam yang berada di tangannya itu sedang duduk di ruang penuh tekanan di sekolahnya. Ruang BK, ruangan yang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan menyebalkan. Ruangan yang disukai oleh anak istimewa, dan dibenci anak biasa. Iya, Ratu sedang berada di ruangan ini karena membuat masalah.
Ini kesalahan Ratu yang kesepuluh kalinya, selama setengah tahun ia berada di SMA ini. Ratu, Ksatria, dan Pangeran tidak pernah membuat masalah sebanyak ini, bahkan mereka pun bingung bagaimana Ratu bisa melakukan kesalahan ini sendiri. Dia tidak pernah masuk BK dengan temannya, ia hanya seorang diri.
Ratu selalu kabur dari sekolah, dia melompat pagar, hanya seorang diri. Lalu, ketika jam istirahat kedua dia kembali ke sekolah dengan membawa tujuh puluh nasi goreng. Karena bagaimanapun itu melanggar peraturan sekolah, di sekolah ini murid dilarang membeli makanan diluar sekolah. Dan penjual kantin banyak yang marah, karena pembelinya berkurang. 
“Lagi-lagi kamu,” ucap Bu Serly, dia adalah teman SMA ayahnya, atau bisa dibilang mantan gebetan ayahnya. “Nggak anak, nggak Bapak sama aja kelakuannya,” lanjutnya sambil menggelengkan kepala.
“Tante mah jangan sama-samain Ratu sama Om Firza, dong. Kan Ayah Ratu itu nggak salah sama Tante Mantan Gebetan Ayah,” ucap Ratu sambil memainkan tapi hitam yang ia bawa itu.
“Ratu, ini di sekolah. Sudah berapa kali Ibu bilang, ketika di sekolah Saya adalah guru kamu,” tegas Serly.
Ratu memutar bola matanya dengan malas. “Iya, Ibu Serly,” ucap Ratu. “Sekarang Ratu harus gimana? Ratu boleh pergi atau Ratu harus telpon Papa?”
“Telpon Mamamu aja, jangan Papamu, nanti malah dia bawa ketiga temannya itu.”
“Mama nggak ada di rumah, Ibu tau sendiri kalau jam segini Mama Ratu lagi pergi ke toko,” Ratu mengambil ponselnya, lalu mengirim pesan ke Firza, menyuruhnya untuk datang ke sekolah. “Sudah, sekarang Ratu boleh ke kantin, kan? Ratu laper, Bu,” ucap Ratu.
“Nggak,” jawab Serly dengan tegas. “Sekarang ikut Ibu pergi ke lapangan upacara, kamu hormat di sana sampai Papamu datang,” ucap Serly.
Ratu mengangguk, gadis itu sudah biasa dengan hukuman ini. Panas matahari tak sepanas api neraka, itulah prinsipnya ketika ia akan mengeluh kepanasan. Panas matahari bukan lagi hal yang ditakuti oleh Ratu, meskipun kulitnya akan hitam, ia tak peduli, karena tidak akan ada satu orang pun yang pergi darinya hanya karena kulitnya hitam.
Ratu berdiri sambil hormat ke arah bendera Merah Putih. Matahari sedang menyinarkan sinarnya begitu terang, membuat keringat menetes di wajahnya. 
“Makanya jadi cewek jangan nakal,” ucap Ksatria datang bersama Raja dan Pangeran. Ksatria yang datang membawa satu botol air mineral, Pangeran membawa tisu, dan Raja tidak membawa apapun.
Itulah mereka, mereka tidak akan membiarkan Ratu tersiksa sendiri. Sekarang, setelah Ratu meminum air, dan membersihkan keringatnya. Mereka akan berdiri di samping Ratu, membantu Ratu.
“Pangeran, kok di sini, sih? Sekarang waktunya Bu Ana loh. Nggak rugi?” tanya Ratu.
Pangeran tersenyum, “Sebenarnya rugi banget. Tapi, lebih baik gue nggak ketemu sama Bu Ana sehari daripada lo omelin berhari-hari,” jawabnya.
Bu Ana adalah guru geografi yang masih muda, guru itu baru menjadi PNS lima bulan yang lalu. Wajahnya juga cantik, itu sebabnya banyak siswa laki-laki yang sangat suka dengannya. Termasuk Pangeran, kecuali Raja dan Ksatria.
***
“Permisi,” ucap empat pria yang berjalan masuk ke ruang BK.
Ratu tersenyum melihat Firza, Alfian, Niko, dan Leo. Berbeda dengan Serly, perempuan itu menunjukkan wajah kesal, wajah yang tak suka dengan kehadiran mereka.
“Om-om,” panggil Ratu sambil tersenyum.
“Saya bilang apa, jangan suruh Ayah kamu yang ke sini. Kalau gini caranya, masalah nggak akan selesai sampai kapanpun,” ujar Serly sambil menggelengkan kepala.
“Udah, jangan marah-marah muka Anda semakin keriput,” ucap Alfian sambil tersenyum.
“Duduk,” ucap Serly. “Leo, Niko, Alfian, kenapa kalian ikut ke sini lagi?”
“Lah, Anda yang nyuruh kita ke sini. Kenapa balik tanya?” jawab Niko.
Serly menghela nafas, dia harus siap untuk marah-marah sepanjang percakapan. “Saya menyuruh Firza yang kesini, bukan kalian.” Serly mengambil jeda sejenak untuk berpikir. “Sudah-sudah. Pak Firza, tolong Ratu diberi tahu untuk tidak melanggar peraturan sekolah dengan membeli makanan dari luar sekolah, dan para penjual di kantin marah karena pembeli mereka berkurang. Tolong.”
“Loh, Anak saya baik, dia membagi kebahagiaan ke teman-temannya dengan memberikan makanan gratis,” Firza tersenyum ke arah Ratu sambil menunjukkan jari jempolnya ke anak kesayangannya itu.
“Ratu bisa membeli makanan di sekolah, lalu dibagikan ke teman-temannya. Bukan bolos sekolah untuk membeli makanan ke luar sekolah.”
“Yah suka-suka anak saya, lah. Uang-uang dia, yah terserah dia.”
“Murid juga bosen kali makan bakso, mie ayam, yang rasanya nggak pernah berubah dari gue masih jadi sperma,” sahut Niko.
“Anda nggak usah ikut-ikut ya, saya hanya ada urusan dengan Ayah Ratu, bukan Ayah Pangeran, bukan Ayah Ksatria, dan Bukan Ayah Raja,” tegas Serly.
“Ratu anak gue, Pangeran anak gue, Ksatria anak gue, dan Raja juga anak gue,” bela Niko yang semakin membuat Serly kesal.
Lagi-lagi Serly menghela nafasnya, ia benar-benar harus menahan amarah, ia benar-benar harus sabar menghadapi empat temannya itu. “Saya hanya ingin berbicara dengan ayah kandung Ratu.”
“Loh, ya nggak bisa gitu. Entah kandung atau tidak, kita tetap ayah Ratu, ayah Ksatria, ayah Pangeran, dan Ayah Raja,” sahut Alfian.
“Ser, lo nggak bisa ngomong sama satu orang,” lanjut Leo yang dari tadi hanya diam.
Setelah mereka berdebat selama satu jam, akhirnya semua selesai. Dengan akhir, Serly yang menyerah menghadapi Bapak-bapak yang selalu membuatnya marah itu. Memang tidak ada gunanya, sebanyak apapun Serly bicara, ucapan Serly tidak akan pernah dianggap serius oleh mereka.
“Kita pergi ya,” ucap Alfian. “Ayo, Ra,” ajaknya.
“Anak gue pinter,” ucap Firza ketika sudah berada di luar ruang BK. “Lanjutkan bakatmu, Nak,” lanjutnya.
“Sudah sana pulang, seneng banget bolos kerja. Pantas aja Ratu kayak gini,” ucap Ratu.
“Iya-iya, kita pulang.”
***
“Ja, makan dulu!” teriak Pangeran yang sudah bersiap untuk berdoa.
Sekarang, Raja, Ratu, dan Ksatria sedang berada di rumah Pangeran, bersama kedua orangtua mereka. Mereka sedang makan bersama, bukan karena ada acara penting, tapi mereka memang sering melakukan ini setiap akhir bulan, hanya untuk mempererat persaudaraan. Agar tidak merasa asing karena kesibukan masing-masing.
Raja duduk di samping Leo, setelah itu Pangeran, pengganti Ayahnya untuk memimpin doa. 
“Semuanya sudah duduk, sudah siap, sebentar lagi kita mulai. Berdoa dipersilahkan,” ucap Pangeran.
Setelah berdoa, mereka mulai memakan makanan masing-masing. Ini adalah momen yang akan selalu dilakukan oleh mereka, karena mereka tidak ingin pertemanannya merenggang hanya karena sibuk mencari dunia. Mereka ingin, sesibuk apapun pertemanan ini paling penting.
“Bah, tolong ambilin tempe itu dong,” ucap Pangeran pada Niko.
Niko menatap anak semata wayangnya itu dengan tajam, “Udah dibilangin jangan panggil Aku Abah. Aku nggak suka ya,” kata Niko lalu mengambil tempe dan memberikannya pada Pangeran.
“Terimakasih, Abah Niko,” goda Pangeran.
“Oh iya, Ta, Bu Anis pesen tiga puluh puding coklat buat minggu depan. Bisa nggak?” tanya Ara.
Asta menoleh, dan menjawab,  “Bisa kok, Mbak. Lagian Lia biasanya ke rumah buat bantu buat. Iya, kan, Li?” 
Lia mengangguk. “Iya, tenang aja. Nanti aku bantu sampai selesai, nanti aku bantu cuci piring jug-”
“Makan dulu, keselek baru tau rasa kalian,” sahut Niko dengan nada ketus. Dia sangat kesal dengan Lia, karena ketika sekali bicara akan bicara terus tanpa henti.
Salma tertawa melihat Niko yang kesal. “Udah, makan dulu semuanya. Jangan banyak bicara,” ucapnya.
Akhirnya mereka diam, menikmati makanan masing-masing tanpa ada yang berbicara. Lalu sesaat kemudian Ksatria bicara, “Kalau diem-diem gini kayak bukan kita, deh. Serius.”
“Makan,” kata Leo dengan penuh penekanan.
“Biasa aja, Om,” jawab Ksatria. “Udah deh, jangan diem-dieman, kan jadi terasa asing banget gini,” lanjutnya sambil menggelengkan kepala.
“Udah, makan aja dulu, Sat,” ucap Asta pada anaknya itu.
Akhirnya mereka makan tanpa ada yang mengeluarkan suara. Bahkan mereka makan dengan sangat pelan, sampai-sampai tidak ada suara piring. Memang suasana seperti ini tidak seperti biasanya, karena biasanya mereka sangat ramai bahkan saat makan. Mereka tidak ada yang berubah, mereka masih tetap ramai seperti dulu. Bahkan dulu mereka pernah liburan bersama, menginap di sebuah villa, hingga akhirnya tetangga villa mereka marah karena mereka yang terlalu ramai.
***
Malam ini langit sangat cerah, menunjukkan jutaan bintang yang bertebaran. Namun, langit cerah itu tak secerah wajah Ratu sekarang. Gadis itu sedang bahagia, karena ia mendapat kabar Risma telah sadar. Bukan, bukan karena Risma, tapi karena ia bisa melihat wajah Raja tersenyum cerah. Sudah lama gadis itu memimpikan momen ini, walaupun ketika momen ini datang, kemungkinan ia akan kehilangan Raja, yang terpenting bagi Ratu adalah sahabatnya bahagia.
Ratu duduk di depan ruangan Risma bersama Ksatria dan Pangeran. Hanya Raja yang berada di ruangan itu, sedangkan keluarga Risma masih ada di luar kota. Mereka tak ingin mengangguk momen bahagia Raja, itu sebabnya mereka tak ingin masuk.
“Ra, makan dulu, yuk,” ucap Pangeran.
Ratu menoleh, tersenyum, lalu menggelengkan kepala, dan berkata, “Nunggu Raja aja.” 
“Kita makan dulu aja,” sahut Ksatria.
“Tapi, Raja gimana? Dia nggak makan?”
Pangeran berdiri dari tempat duduknya, menarik tangan Ratu dan Ksatria secara bersamaan, sambil berkata, “Raja udah gede, sekarang gue lapar.”
Mereka makan di rumah makan depan rumah sakit. Ratu yang makan nasi padang, Pangeran makan nasi goreng, sedangkan Ksatria hanya makan roti yang ia beli di supermarket. Ksatria bukan diet, perutnya sudah kenyang karena sebelum datang ke rumah sakit dia sudah makan satu piring nasi pecel di rumahnya.
“Setelah sekian lama, akhirnya Ratu bisa lihat senyum cerah Raja lagi,” ujar Ratu sambil tersenyum. “Pangeran, Ratu sayang sama Pangeran, jadi jangan sedih ya,” lanjutnya sambil menyuapi Pangeran.
“Ngapain gue harus sedih?” tanya Pangeran.
“Ratu tau kok kalau selama ini Pangeran suka sama Risma. Ratu pernah lihat Pangeran diem-diem foto Risma,” jelas Ratu.
Pangeran hanya diam, dia tidak menjawab ucapan Ratu, dia hanya melanjutkan makannya. Sekarang Pangeran hanya khawatir Raja tau, Pangeran tidak ingin semuanya berubah hanya karena cinta. Walaupun ia tau cepat atau lambat, Raja akan tau semuanya.
“Pangeran, walaupun kita sering banget berantem, Ratu tetep sayang sama Pangeran. Jangan sedih ya, Ratu nggak mau Pangeran, Raja, dan Ksatria sedih, Ratu mau kalian bahagia.”
“Lo ngomong kayak gitu, kayak orang mau mati aja,” celetuk Pangeran.
Ratu memukul Pangeran dengan kesal. “Ratu itu serius, kenapa Pangeran malah becanda, sih? Kesel tau nggak.”
“Baru aja ngomong Ratu sayang sama Pangeran, eh berantem lagi. Dasar Bocah,” Ksatria menggelengkan kepala, laki-laki in benar-benar pusing harus mengurus tiga temannya yang nggak waras semua.
“Ksatria jangan capek sama kelakuan kita ya, karena kalau nggak ada Ksatria, Pangeran, Raja, sama Ratu nggak akan bisa bertahan selama ini,” ucap Ratu.
Ksatria diam sejenak, lalu mencolek lengan Pangeran dan bertanya, “Hari ini hari apa, sih? Kok Ratu tiba-tiba kayak gini.”
“Hari kehilangan Raja,” jawab Pangeran dengan asal.
Ksatria menjitak kepala Pangeran dengan kasar, lalu berkata, “Raja nggak akan bucin-bucin amat kali.”
“Nggak bucin? Ksatria lupa ya kalau Raja bisa ninggalin kita buat Risma?” sahut Ratu.
“Iya sih,” kata Ksatria sambil menggaruk kepala belakangnya yang tak gatal. “Udah ah, nggak usah bahas Raja atau Risma dulu. Ra, besok gue sama Pangeran nggak bisa jemput lo, kita ada lomba voli jadi nggak ke sekolah,” ucap Ksatria.
Ratu mengangguk. “Oke, besok Ratu berangkat pakai ojek ya? Ratu pengen.”
Ksatria dan Pangeran menggeleng secara bersamaan. “Naik taksi, nggak ada ojek-ojekan,” ucap Ksatria yang diikuti dengan anggukan Pangeran.
“Naik bus kota deh, ya?”
Lagi-lagi mereka menggeleng. 
Ratu menghela nafas. “Oke kalau gitu, naik angkot aja.”
Mereka melototkan matanya. “Gue antar besok,” kata Pangeran dengan kesal

0 komentar