Dunia Ning Arum

Enjoy how my life and the lives of others

  • Home
  • About Me
  • Social
  • Features
    • Lifestyle
    • Sports Group
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Contact Us

Cara memendam rasa
Raja berjalan sambil menggandeng tangan Risma. Ia tidak peduli dengan sekitar, bahkan ia lupa bahwa pagi ini dia berangkat bersama ketiga temannya juga. Sedangkan Ratu, Pangeran, dan Ksatria terdiam di belakang mereka, melihat bagaimana tingkat kebucinan sahabatnya itu. Mungkin jika Raja bukan sahabat mereka, Ksatria sudah memukul kepala laki-laki tampan itu.
Bukankah kenyataan memang begitu? Ketika sahabat punya pacar, maka kita hanya sebatas teman pelarian. Itu yang selalu terjadi, tak akan ada lagi cerita-cerita indah, yang ada hanya cerita-cerita seseorang yang bagi sahabat kita adalah manusia paling indah. Seperti itulah kenyataan pertemanan. 
“Sat, jangan pacaran yah,” ucap Pangeran sambil memandang Raja dan Risma yang semakin menjauh. “Nanti lupa diri,” lanjutnya sambil menggelengkan kepala.
Disini yang paling waras adalah Ksatria dan jika Ksatria memiliki kekasih, lalu berperilaku seperti Raja. Sudah berakhir pertemanan, itu karena sudah tidak ada Ksatria yang menjaga. Hanya ada Ratu dan Pangeran yang selalu bertengkar karena Raja pergi dengan gadis lain.
Ksatria menoleh ke Pangeran dan menjawab, “Lah, gue kan udah punya pacar.”
Ratu dan Pangeran secara bersamaan menoleh ke Ksatria. “Serius? Kapan?” tanya mereka.
“Kemarin malam, makanya gue nggak ke rumah Ratu,” jawabnya dengan sangat santai.
“Ngapain pacaran, sih?” tanya Pangeran dengan kesal, ia mengacak rambutnya. “Terus gue harus pacaran sama siapa?”
“Sama Ratu tuh,” jawab Ksatria asal, lalu pergi meninggalkan mereka.
Pangeran memicingkan mata pada Ratu. “Ogah,” katanya lalu ikut pergi.
“Ratu juga nggak mau pacaran sama Pangeran, Ratu maunya pacaran sama Dikta!” ucap Ratu sedikit berteriak.
“Lo mau pacaran sama gue?” Ratu terdiam mendengar pertanyaan itu, ia tau pemilik suara itu.
Gadis itu menoleh, melihat Dikta yang berdiri tak jauh darinya. Laki-laki itu berjalan mendekat ke Ratu, terlihat ia membawa totebag yang entah berisi apa. Tentu saja mereka menjadi pusat perhatian sekarang, bagaimana tidak, Dikta memakai seragam sekolah yang bukan sekolahnya.
Laki-laki itu mengunakan seragam sekolahnya, entah bagaimana dia datang ke sekolah Ratu yang jelas-jelas membutuhkan waktu satu jam untuk ke sekolah miliknya. Dia juga sepertinya membawa mobil, nanti kemacetan akan membuat dia terkena hukuman. Tapi Dikta sudah tau resiko itu, dan laki-laki itu sama sekali tidak peduli.
“Dikta, kok tiba-tiba di sini?” 
“Nih,” ia menyodorkan totebag berwarna hitam itu. “Disuruh Om Firza nganterin baju olahraga lo yang ketinggalan,” lanjutnya.
Dengan gugup Ratu mengambil totebag itu, “Oh iya, makasih,” ucapnya. “Ratu pergi dulu yah,” lanjutnya.
Ratu hendak pergi, namun dengan segera Dikta mencegah langkah gadis itu. “Jawab dulu pertanyaan gue. Emang lo mau pacaran sama gue?” Dikta menunjukkan tatapan dan senyum menggoda, dia sangat gemas ketika melihat Ratu salah tingkah. Karena sangat lucu saja.
Ratu menggelengkan kepala dengan cepat. “Enggak kok, enggak. Ratu cuman bercanda,” jawabnya.
“Oke kalau gitu. Gue balik dulu yah,” ucapnya lalu meninggalkan Ratu.
Ratu berjalan sambil memukul kepalanya pelan. Bodoh, bodoh, bodoh. Jangan diulang lagi Ratu. Nggak boleh, malu.
***
Ratu terdiam di tempatnya ketika melihat Raja dan Risma duduk di meja ‘Ratu’ itu. Ia juga dapat melihat Pangeran yang terdiam, lalu membalikkan badan untuk kembali ke kelas. Gadis itu tentu tau apa yang sedang dirasakan oleh sahabatnya itu, karena apa yang sedang dirasakan Pangeran, dia juga merasakannya.
Cinta bertepuk sebelah tangan, memendam perasaan adalah sesuatu hal yang sering terjadi di antara pertemanan. Tak ingin kehilangan, tak ingin segalanya runyam adalah alasan. Mungkin, jika sudah ada kepastian tentang jawaban, seseorang akan bisa jujur dengan perasaan. Namun, mau bagaimana lagi, tidak ada yang tau tentang perasaan orang yang disukai. Jawaban ‘tidak’ adalah momok bagi mereka yang mencintai sepihak.
Ratu juga berjalan kembali, mengikuti Pangeran dari belakang. Gadis itu memperhatikan dari belakang, sekarang ia tau bahwa Pangeran memang sedang patah hati. Karena Pangeran adalah laki-laki ramah, yang akan selalu menjawab ketika disapa. Namun sekarang, laki-laki itu hanya berjalan dengan tatapan lurus, tanpa menjawab orang-orang yang dari tadi menyapanya. Mungkin bisa dibilang aneh, karena Pangeran bukan orang yang pintar dalam mengungkapkan perasaan, tapi sekarang dia malah menunjukkan bahwa sedang patah hati.
Ratu berjalan dengan cepat ketika ia melihat Pangeran yang hendak melompat pagar belakang sekolah. Gadis itu tau bahwa Pangeran akan kabur dari sekolah, karena itulah Pangeran. Ia tidak pernah bertahan di tempat yang membuatnya kacau. Ia akan memilih untuk pergi, daripada orang lain menjadi korbannya.
“Lo mau kemana?” tanya Ratu, dengan sigap ia memegang tangan Pangeran.
Laki-laki itu menoleh. “Yah mau keluar lah, mau kemana lagi emang,” jawabnya sambil melepas tangan Ratu dengan pelan.
“Ngapain?”
“Gue bosen di sekolah,” katanya sambil mengacak rambutnya dengan kesal. “Lo balik sana, sebelum ada guru. Nanti gue malah nggak bisa kabur,” lanjutnya.
Ratu menggelengkan kepala. “Lo harus balik bareng sama gue. Hari ini lo kan ada penilaian tengah semester.”
“Ulangan susulan kan bisa, kenapa dibuat ribet, sih?”
“Lo itu yah. Nggak usah nyebelin deh. Gue bilang balik yah balik,” ucap Ratu lalu menarik tangan Pangeran.
Pangeran menghela nafas, ia akhirnya menurut dengan Ratu. 
“Gue mau pergi, Ra,” kata Pangeran dengan suaranya yang dingin.
Ratu berhenti, perlahan ia melepas tangan Pangeran. “Oke, terserah lo,” kata Ratu lalu meninggalkan Pangeran yang berdecak kesal.
Mungkin itu yang diperlukan bagi seseorang yang sedang patah hati. Membiarkan dia sendiri. Menenangkan diri. Terkadang, bersama teman tidak bisa menjamin kita akan melupakan masalah. Malah, bisa saja kita mengingat segala masalah. Itu sebabnya sendiri adalah jalan, karena jika kita sudah sendiri maka kita akan lebih terbuka dengan diri sendiri. Tanpa memakai topeng, tanpa harus berbohong.
***
“Ja, bisa antar Ratu ke perpustakaan sebentar?” tanya Ratu pada Raja yang sedang duduk sambil menatap layar ponselnya.
Raja menoleh. “Maaf. Gue harus pergi sama Risma,” jawabnya.
Tentu saja Ratu kecewa. Mungkin memang sudah tak akan ada lagi waktu bersama teman jika sudah ada sang pacar, karena memang teman bukan lagi prioritas. Pacar adalah nomor pertama. 
“Sebentar aja,” kata gadis itu, masih berharap agar Raja mau mengantarkannya. 
Pangeran sedang ada urusan keluarga, sedangkan Ksatria, dia sedang mengurus adiknya yang sedang ada acara di sekolah, karena Alfian dan Asta tak bisa datang. Sekarang, yang tersisa hanya Raja.
“Nggak bisa,” kata laki-laki itu lalu bangkit berjalan keluar.
“Raja bisa nggak sih berhenti ngurus Risma?” tanya Ratu dengan sedikit berteriak. Gadis itu benar-benar kehilangan kesabaran, ia sudah tak tahan melihat tingkah sahabatnya itu, dan dia juga sudah tak tahan melihat perilaku Raja yang semakin hari semakin aneh.
“Gue udah janji sama Risma.”
“Cuman nganterin gue ke perpustakaan, terus lo bisa pergi. Telat sepuluh menit aja masa dia marah?”
“Tetep aja telat, Ra.”
“Risma nggak akan marah, Ja. Sebentar aja, kamu tau Pangeran sama Ksatria nggak bisa.”
Raja menggelengkan kepala. “Gue nggak bisa.”
“Begitu berharganya Risma buat lo yah, sampai-sampai nganterin gue aja lo nggak bisa.” Ratu menghela nafas sejenak. “Risma emang berharga banget buat lo sedangkan gue enggak. Iya, gue tau itu. Tapi lo juga harus inget, gue sahabat lo, gue ada lebih dulu dari dia.”
“Ra, jangan egois,” suara Raja mulai terasa dingin, itu artinya laki-laki itu sudah ingin marah.
“Egois lo bilang?” tanyanya. “Kalau lo bisa buka mata lo, kalau lo mau ngelihat orang-orang di sekitar. Lo akan tau, di sini yang egois gue atau lo,” tegas Ratu, dia mengambil ponsel dari sakunya, menghubungi Dikta. Tak lama, telpon itu tersambung. “Kak, bisa antarin aku ke perpustakaan sebentar? Iya, aku tunggu. Makasih, Kak,” Ratu menutup telepon, ia memperhatikan Raja sambil menggelengkan kepala.
“Bener kata orang, sebaik apapun kita ke teman, akan dilupakan jika sudah ada pasangan.”
“Gue antar,” kata Raja sambil menarik tangan Ratu.
Ratu melepas tangan Raja dengan paksa. “Nggak perlu. Lo urus aja cinta lo itu, urus dia sampai lo puas. Mungkin emang bener kata temen gue tadi. Sekarang, gue cuman punya Pangeran dan Ksatria. Ah tunggu, dan Dikta,” Ratu tersenyum dengan kesal. “Urus Risma, sampai lo bener-bener sadar sama sekitar. Inget, Ja, dunia nggak selalu mengelilingi lo.”
“Ra, bisa udah? Gue nggak suka berantem sama lo,” ucap Laki-laki itu, mengacak rambutnya dengan frustasi. “Apa salah gue memprioritaskan orang yang gue cinta? Apa salah gue mau buat orang yang gue cinta bahagia dengan cara nggak buat dia kecewa?”
Ratu menggelengkan kepala. “Lo nggak salah. Yang salah adalah gue, karena gue terlalu berharap lo nggak akan berubah meski Risma kembali. Ternyata gue salah, perempuan itu masih jadi yang terpenting di hidup lo.”
Laki-laki itu tak menjawab, ia kesal dengan perdebatan ini. Perdebatan yang tentu hanya berakhir tak jelas. Ia pergi meninggalkan Ratu ketika mendengar suara mobil memasuki halaman rumah, tentu saja itu adalah suara mobil Dikta. Dikta sedang berada tak jauh dari rumah Ratu, itu sebabnya ia datang dengan cepat. Dan ya, tanpa ragu atau apapun, Dikta selalu mau membantu gadis itu. 
Ratu menundukkan kepala dengan lesu. Jangan pergi, Ja. Gue mohon. Cukup jadi sahabat gue, nggak apa-apa. Tapi tolong jangan tinggalin gue. Gue nggak mau kehilangan lo. Ja, balik, balik, balik.
Ratu berjalan ke arah Dikta. Laki-laki itu sudah berdiri di samping mobilnya, dengan kedua tangan yang ia masukan kedalam saku celana. Dia hanya memakai kaos berwarna hitam, dengan celana jeans selutut dan sepatu kets berwarna hitam. 
Tanpa menyapa Dikta, gadis itu langsung masuk mobil, lalu disusul oleh Dikta.
“Doi nggak cinta sama kita, bukan berarti kita berhenti jatuh cinta. Kadang, perasaan perlu dibuat kayak gitu, biar tau gimana rasanya patah hati tahap pertama,” tiba-tiba Dikta berkata seperti itu, lalu ia mengambil sebuah kantong belanja dari kursi belakang. “Nih, pengobat patah hati dari gue,” lanjutnya memberikan kantong itu pada Ratu.
Ia membuka kantong berwarna merah itu. Isinya adalah sebuah tiket teater beserta gaun berwarna putih, gaun sederhana yang terlihat sangat elegan. 
“Buat apa? Kata siapa aku patah hati?”
“Buat kamu. Dari Pangeran,” jawabnya, tangan kirinya terangkat menepuk kepala Ratu. “Cinta bertepuk sebelah tangan adalah patah hati tahap pertama, nanti tahap terakhirnya adalah ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Dan lo harus melewati beberapa tahap patah hati. Jadi yang sabar,” lanjutnya lalu tertawa.


Gue benci lo nangis!
Ratu berjalan menyusuri lorong sekolahnya bersama dengan Pangeran, mereka sedang menuju ruang guru, Raja tiba-tiba memanggilnya. Ratu yang sedang sibuk dengan ponselnya, dan Pangeran yang sibuk dengan kuku panjang di jari kelingkingnya. Mereka tidak berkomunikasi sama sekali, hingga akhirnya Pangeran berhenti melangkah karena seseorang memanggil namanya.
Laki-laki itu menoleh, diikuti oleh Ratu. Mereka terdiam menatap gadis yang berdiri tak jauh dari mereka, gadis yang memakai kaos berwarna hitam, dengan cardigan berwarna coklat, gadis dengan wajah yang sedikit pucat namun memberikan senyuman yang sangat tulus. Gadis itu adalah Risma.
“Lo kok di sini?” tanya Ratu yang masih tercengang.
Gadis itu mendekat, dan menjawab, “Iya, mulai besok gue udah sekolah.”
Pangeran mengangguk mengerti. Dia masih tetap bersikap biasa saja, berusaha menutupi jantungnya yang berdegup dengan kencang. Menutupi rasa-rasa senang sekaligus khawatir. Senang karena dia akan selalu bertemu dengan Risma, dan khawatir karena kemungkinan hari-hari patahnya akan terulang kembali.
“Kalian mau ke ruang guru, kan? Disuruh Raja, kan?” tanya Risma dengan penuh semangat.
Mereka mengangguk menjawabnya. Lalu melangkah mendahului Risma. 
“Ran, kenapa kita canggung banget sama Risma ya?” tanya Ratu sambil menatap lurus ke depan.
“Gue juga nggak tau,” jawab Pangeran sambil mengangkat kedua bahunya. 
Mereka berjalan menuju ruang guru, seperti yang sudah diperintahkan oleh Raja, dan mungkin sekarang Ksatria sudah duduk di sana bersama Raja. Sekarang, Pangeran sedang bingung dengan perasaannya, harus senang atau sedih, Ratu pun begitu, gadis itu takut bahwa ia akan kehilangan sahabatnya lagi. Ia belum siap untuk itu.
Mereka memasuki ruang guru. Benar, Ksatria sudah duduk di sana bersama dengan Raja. 
“Ada apa?” tanya Pangeran, lalu duduk di samping Ksatria, yang diikuti oleh Ratu.
“Risma udah balik sekolah lagi,” jawab Raja. “Gue pikir ini kabar bahagia buat kalian. Karena kita udah lengkap,” lanjutnya sambil menunjukkan senyuman yang jarang sekali muncul di wajahnya. 
“Ratu tau kok,” ucap Ratu, ia berdiri dan berkata, “Ratu mau ke kantin dulu yah. Laper,” Gadis itu pergi meninggalkan teman-temannya yang masih kebingungan, karena Ratu jarang sekali mau ke kantin sendiri.
***
Pangeran berjalan mendekati Ratu yang sedang duduk di taman sendiri. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak satu jam yang lalu, bahkan langit sudah mulai gelap, namun gadis itu tak kunjung meninggalkan sekolah. Ia masih tetap duduk. Ia masih memikirkan sesuatu yang mengganggu pikirannya, pikirannya sedang kacau karena hal yang belum pasti. 
“Ngapain sih nggak pulang-pulang?” tanya Pangeran. Bahkan laki-laki itu sudah selesai latihan basket, seragam khas sekolahnya sudah dicopot digantikan dengan kaos putih yang basah karena keringatnya. 
Ratu menoleh sambil tersenyum. Ia langsung menyandarkan kepalanya ke bahu Pangeran. “Ratu pusing,” katanya, lalu memejamkan mata. 
“Badan gue basah, bau gue nggak enak,” ucap Pangeran sambil mengangkat bahunya berkali-kali agar Ratu menyingkirkan kepalanya. 
Gadis itu tidak menggubris ucapan Pangeran, ia masih tetap memejamkan mata, seakan-akan tak ingin beranjak dari tempat itu. Ia juga tidak peduli dengan bau badan Pangeran yang memang benar-benar bau, bukan bau tidak enak, namun bau khas tubuh Pangeran. 
“Kenapa, sih, Ratu gue?” tanya Pangeran sambil mengusap kepala Ratu dengan lembut. “Kenapa tiba-tiba badmood gini?”
Tanpa menjawab, tiba-tiba gadis itu menangis. Ia menangis tersedu-sedu, membuat laki-laki di sampingnya itu terkejut. Pangeran mengambil seragam yang tadi ia simpan di dalam tas, lalu memakaikannya di kepala Ratu, agar tidak ada yang tau bahwa gadis itu menangis. 
Pangeran tau bahwa Ratu sama sekali tidak suka jika ada seseorang yang melihat air matanya. Ratu lebih sering menangis sendiri di dalam kamar, dan jika ia sudah menangis di depan umum seperti ini, itu artinya gadis itu sudah tak kuat menahan kesedihannya sendiri. 
“Nangis aja, nggak apa-apa,” kata Pangeran, sambil memeluk erat tubuh Ratu. “Ra, gue paling benci kalau ngeliat lo nangis. Kenapa, sih lo nangis?”
“Ratu capek,” jawabnya yang masih terisak.
“Iya, capek kenapa?”
“Ratu nggak lesbi Pangeran. Ratu suka sama cowok. Ratu nolak semua cowok bukan karena Ratu nggak suka cowok, Ratu nolak karena Ratu suka sama orang lain,” jelasnya.
“Iya, gue tau.” Pangeran mengangkat kepala Ratu, lalu mengarahkan wajah gadis itu agar menghadapnya. “Cukup lo denger omongan gue. Percaya sama gue, semua yang udah mereka omongin, nggak akan lo denger lagi mulai besok. Jadi, nangisnya udahan yah?”
Ratu menggelengkan kepala dengan cepat. “Pangeran nggak akan nyakitin mereka, kan?” tanyanya dengan khawatir. 
Pangeran mengangkat kedua bahunya. “Kalau mereka masih bisa diajak bicara baik-baik mungkin enggak, tapi kalau susah yah, mungkin pindah sekolah, atau gue diskors,” jawabnya dengan tenang.
“Jangan,” kata gadis itu sambil memegang lengan Pangeran. “Biarin aja. Jangan ngelakuin apapun,” lanjutnya.
Pangeran mengangguk menuruti Ratu. Jika sudah seperti ini, Pangeran akan berubah menjadi seorang yang sangat baik, ia tidak akan memarahi Ratu atau memulai perdebatan. Pangeran sangat menyayangi Ratu, itu kenyataannya, walaupun sering bertengkar, tetap saja Pangeran adalah orang pertama yang paling benci ketika melihat Ratu menangis. 
***
Ratu duduk di sofa bersama dengan Pangeran, mereka sedang menunggu Raja dan Ksatria. Ksatria yang masih belum pulang dari kerja kelompok, dan Raja yang entah kemana, mungkin saja sedang bersama dengan Risma. Yang jelas mereka sudah memiliki janji untuk bertemu.
“Ra, tugas sejarah wajib lo udah selesai apa belum?” tanya Pangeran yang sedang menikmati kacang goreng kesukaannya.
“Yang mana?”
“Yang bab pertama, yang skema.”
Ratu mengangguk. “Udah. Udah ulangan juga.”
“Nyontek, dong,” kata Pangeran lalu pergi ke kamar Ratu untuk mengambil buku itu.
Ratu kembali terfokus pada televisinya. Ia sedang menonton acara azab yang tentu saja selalu membuatnya ingin marah, namun tidak ada yang bisa ditonton selain itu. Ratu sangat jarang menonton televisi, karena gadis itu lebih suka melihat layar kecil di ponselnya daripada layar besar itu. Dia sudah benar-benar bosan dengan acara-acara yang ada di televisi jaman sekarang, sangat tidak bermanfaat baginya. 
Tak lama, seseorang memasuki ruang keluarga itu. Memperlihatkan seorang laki-laki yang sedang membawa tas perempuan, dia adalah Raja. Selang beberapa menit, seorang perempuan masuk, mungkin dia adalah pemilik tas itu. Gadis itu adalah Risma.
“Pangeran sama Ksatria mana?” tanya Raja sambil mengelilingkan pandangan, mencari dua temannya itu.
“Pangeran lagi ke kamar, Ksatria masih kerja kelompok,” jawab Ratu sambil menunjukkan wajah tidak suka. 
“Ris, duduk. Nggak usah canggung, dulu kamu kan juga sering ke sini,” ucap Raja sambil tersenyum dan mempersilahkan Risma untuk duduk di sampingnya. 
Risma tersenyum, lalu duduk di samping Raja. Gadis itu benar-benar senang hari ini, karena sehari penuh ia bersama dengan Raja. Laki-laki itu tak mungkin meninggalkan Risma sendiri.
“Ra, gue mau ngungkapin perasaan gue ke Risma,” ujar Raja, lalu mengalihkan pandangan ke Risma. “Ris, aku suka kamu, dari dulu. Kamu mau nggak jadi pacarku?” 
Ratu tersenyum, lalu pergi ke kamarnya. Gadis itu menangis tanpa sepengetahuan Raja, dia berlari sedikit.
“Ra, lo kenapa?” tanya Pangeran yang baru saja keluar dari kamar Ratu.
Ratu memeluk Pangeran dengan erat. Ia benar-benar tersakiti. Iya, selama ini gadis itu mencintai Raja, namun dia tau bahwa laki-laki yang dia sukai itu mencintai orang lain. Sangat mencintai. Ratu terlalu takut untuk menunjukkan perasaannya pada Raja, gadis itu takut tanpa sebab. Baginya, mencintai Raja adalah kesalahan terbesar yang pernah ia lakukan selama ini.
Pangeran balik memeluk Ratu, memeluknya dengan erat. Lagi-lagi ia melihat gadis yang ia sayangi itu menangis di depannya, padahal ia sudah mengatakan bahwa ia benci kalau Ratu menangis. Pangeran sangat tidak suka melihat Ratu menangis, karena jika melihat gadis itu menangis, ia selalu mengingat bagaimana mereka berusaha membahagiakan Ratu.
“Ratu sakit,” kata gadis itu di tengah-tengah isakannya. 
“Gue tau,” jawabnya. “Ra, jatuh cinta itu nggak salah, yang salah adalah bagaimana lo berharap. Kalau kata Ksatria, setelah manusia jatuh cinta, patah hati dan kekecewaan akan selalu menemani. Jangan pernah nganggap jatuh cinta adalah sebuah kesalahan, nggak, Ra. Lo nggak salah jatuh cinta ke Raja.”
Gadis itu mendongak, menatap Pangeran dengan wajah sedunya. “Ratu nggak jatuh cinta ke Raja kok,” ucapnya dengan suara yang bergetar. “Ratu jatuh cintanya ke Dikta,” lanjutnya.
Pangeran tersenyum. “Bahkan kemarin malam Dikta bilang ke gue kalau dia ngeliat lo suka sama Raja.”
“Dikta sok tau,” katanya, ia memasuki kamarnya hendak menutup pintu, lalu berkata, “Pangeran yang sabar yah. Mungkin Risma nggak cinta sama Pangeran, tapi Ratu, Raja, dan Ksatria cinta kok sama Pangeran. Jangan sedih, Ratu juga benci kalau Pangeran sedih.” 
Gadis itu menutup pintu kamarnya dengan rapat, meninggalkan seorang laki-laki yang masih terdiam di tempat. Mungkin ini memang menyakitkan, melihat orang yang kita cintai malah menjadi kekasih sahabat sendiri, tapi bukankah mencintai tak harus memiliki? Sulit memang, tapi mau bagaimana lagi, tak semua perasaan mendapat balasan, tak semua rasa dibalas oleh rasa, kadang penolakan itu memang perlu, bukan?
“Lo cowok bangsat, ngapain pengen nangis,” ucapnya mengumpat untuk dirinya sendiri. 

Kekasihnya
Bel tanda pulang sekolah berbunyi, seluruh murid mulai meninggalkan kelas masing-masing, termasuk Ratu. Gadis itu dengan cepat berlari keluar kelas, ia terburu-buru, karena ekstra dance yang ia ikuti masuk lebih awal dari biasanya. Ia hanya punya waktu lima belas menit untuk sholat dan ganti baju. 
Ia sangat tidak suka jika sudah seperti ini, karena ini sangat membuatnya repot, ditambah sekarang tidak ada tiga sahabatnya. Jika saja mereka ada, mungkin Ratu bisa dengan cepat wudhu dan ganti baju, karena semua perempuan akan menyingkir ketika Raja, Pangeran, dan Ksatria menyuruh. 
“Heh, pulang nggak?!” teriak Pangeran saat melihat Ratu lewat depannya. 
“Nggak!” jawab Ratu sambil berteriak, Ratu hampir saja menyuruh Pangeran berhenti, namun Pangeran sudah mengendarai motornya dengan cepat.
Ratu berhenti sejenak ketika melihat masjid sekolahnya itu penuh, jelas butuh waktu lama untuk mengantri di sana. Ia memutuskan untuk pergi ke mushola yang biasanya dipakai oleh tukang kebun untuk sholat. 
“Ratu, ekstranya libur. Bu Nining ada acara mendadak,” ucap salah satu teman ekstranya.
Ratu kembali berhenti, ia menghela nafas dengan kesal. Karena sudah berlari, temannya udah pulang, eh ternyata libur. “Kok seenaknya sih? Gue udah capek-capek lari dari ujung ke ujung,” ucapnya dengan kesal. “Ah, harus jalan buat nyari angkot, deh.”
“Kan ada taksi, Ra. Atau ojek online. Ngapain ribet-ribet cari angkot?”
“Gue nggak mau naik taksi, nanti mabuk. Dan ojek online? Sorry gue nggak suka dibonceng sama sembarangan orang,” jawabnya dengan wajah-wajah manja.
Gadis itu membulatkan mata melihat kelakuan temannya ini. “Terus lo mau desak-desakan sama sembarangan orang di angkot?”
“Beda cerita, kalau di angkot bisa kenal, jadi nggak orang asing lagi. Tapi, kalau ojek online atau taksi kan paling mas-masnya tanya Mbaknya baru pulang sekolah ya? Emang yang jemput kemana? dan bla bla bla,” jelas Ratu. “Udah deh, gue pulang duluan. Assalamualaikum.”
Ratu berjalan meninggalkan temannya itu. Lorong sekolah sudah mulai sepi, sekarang tempat parkir adalah tempat paling ramai. Atau lapangan basket yang sekarang sedang penuh, karena Raja dan Ksatria sedang tanding dengan anak SMA Lastar. Ratu tidak menyukai hal-hal semacam ini, itu sebabnya dari dulu ia tidak pernah hadir ketika teman-temannya itu sedang bertanding, dan mereka juga memaklumi itu, mereka tidak terlalu mempermasalahkan hal itu.
Ratu berdiri di pinggir jalan, menunggu angkot langganannya itu datang. Tak lama, sebuah mobil jazz berwarna putih berhenti tepat di depan Ratu. Gadis itu terlihat bingung, karena memang dia tidak mengetahui siapa pemilik mobil itu, ia juga tidak mempunyai teman yang memiliki mobil seperti itu. Akhirnya, Ratu memutuskan untuk tidak mempedulikan mobil itu, ia berjalan sedikit menjauh.
Mobil itu berjalan mengikuti Ratu, lalu Ratu berhenti ketika kaca dari mobil itu terbuka, melihatkan seorang laki-laki berseragam putih abu-abu dan berkaca mata hitam. Dia adalah Dikta. Ratu tidak mengetahui kenapa laki-laki itu bisa berada di sini, karena jarak sekolahnya dengan sekolah Dikta cukup jauh. 
“Masuk,” titah Dikta dari dalam mobilnya.
“Aku?” tanya Ratu sambil menunjuk dirinya sendiri.
Dikta mengangguk. Setelah itu Ratu masuk ke mobil. Cukup canggung untuk Ratu ketika Dikta mulai menjalankan mobilnya.
“Kenapa bisa ke sini?” tanya Ratu.
Laki-laki itu sedikit menurunkan kacamatanya, lalu menjawab, “Ikut gue sebentar. Bantuin gue ya?”
“Bantuin apa?”
“Intinya bantuin aja. Nggak ribet kok.”
Ratu menganggukkan kepala, lalu ia diam sambil memandang wajah Dikta yang sedang terfokus menyetir. Gadis itu masih tidak percaya bahwa ia telah jatuh cinta pada laki-laki penjaga perpustakaan, ia benar-benar tidak percaya bahwa dirinya bisa jatuh cinta, bisa merasakan degupan jantung yang semakin cepat ketika dekat dengan seorang laki-laki. Karena, dia memang tidak pernah merasakan hal seperti itu sebelumnya. 
Jantung gue kenapa, sih? Ia terus menerus bertanya pada dirinya sendiri, karena ini memang hal aneh untuknya, hal yang sukar baginya. 
***
Ratu berdiri dengan diam di samping mobil Dikta. Mereka sekarang sedang berada di acara ulang tahun teman Dikta. Tadi, Dikta membawa Ratu ke salon untuk mengganti pakaian dan berhias.
Sekarang Ratu memakai dress selutut berwarna merah muda, rambutnya ditata dengan rapi, dan ia mengenakan high heels 5 cm. Gadis itu terlihat begitu anggun, bahkan Dikta sempat terpesona dengannya, karena terlihat begitu berbeda dari sebelumnya.
“Aku harus ngapain?” tanya Ratu sambil menatap Dikta dengan bingung.
“Nanti lo cukup pura-pura jadi pacar gue, kalau mereka tanya sejak kapan kita pacaran, bilang aja sejak dua bulan yang lalu, dan kalau mereka tanya kita kenal di mana, jawab kita kenal dan pertama kali ketemu di pasar malam beberapa tahun yang lalu. Oke?”
Ratu mengangguk, mengerti. “Kenapa harus aku, sih?” tanya Ratu ketika Dikta menggenggam tangannya untuk segera berjalan.
Dikta berbalik menoleh. “Karena gue cuman punya lo,” jawab Dikta lalu berjalan sambil menggandeng tangan Ratu.
Gadis berbibir merah muda itu hanya terdiam. Ia terus melihat tangannya yang sekarang digenggam oleh seorang laki-laki yang bukan sahabatnya. Iya, ini pertama kalinya untuk Ratu. Gadis ini memang benar-benar tidak pernah merasakan bagaimana digandeng oleh seorang laki-laki, karena Ksatria, Raja, dan Pangeran, tidak pernah membiarkannya dekat dengan laki-laki.
“Kita bakalan ke sana,” ucapnya sambil menunjuk sekumpulan teman-temannya. “Perempuan yang pakai dress warna putih, dia yang ulang tahun. Kita ke sana cuman untuk ngasih ucapan, kado, dan gue ngenalin lo ke mereka. Udah, setelah itu kita pulang,” jelasnya.
“Kenapa pulangnya cepet?”
“Gue nggak suka tempat kayak gini, nakutin. Lo juga nggak suka, kan? Om Firza udah bilang tadi pagi, kalau lo nggak suka sama acara-acara kayak gini.”
Ratu mengangguk. Memang benar ia sangat tidak suka dengan acara seperti ini, bukan hanya tidak suka tapi juga tidak nyaman. 
“Eh Dikta udah datang,” ucap perempuan yang sedang berulang tahun itu.
Ratu dan Dikta tersenyum menanggapinya, lalu Dikta memberikan kado yang sudah ia bawa kepada perempuan itu. “Selamat ulang tahun, Nina,” 
Perempuan bernama Nina itu mengambil kado dari Dikta. “Makasih, Ta,” ucapnya. “Dia siapa?” tanyanya sambil menunjuk ke arah Ratu.
“Iya, siapa dia, Ta? Datang ke acara ulang tahun mantan sambil bawa cewek,” sahut laki-laki berkulit sawo itu.
Dikta tersenyum. “Kenalin, namanya Ratu, pacar gue,” ucapnya memperkenalkan Ratu.
Ratu tersenyum. “Salam kenal, Ratu.”
“Ratu?” tanya Nina. “Sejak kapan kalian pacaran? Bukannya Ratu Alyssa Veranza adalah perempuan yang selalu sama Raja Valeon, Ksatria Alfasa, dan Pangeran Nikolas Adhi, ya? Kayaknya gue nggak pernah denger Seorang Ratu punya pacar.”
“Mungkin kamu aja kali yang nggak tau. Emang kenapa kalau seorang Ratu punya pacar? Kalau kamu nggak pernah dengar, sekarang udah dengar kan? Saya Ratu, perempuan yang selalu sama Raja, Ksatria, dan Pangeran, dari dua bulan yang lalu sudah punya pacar, namanya Dikta. Udah?”
Dikta menatap Ratu sambil tersenyum. “Udah deh, gue sama Ratu mau pulang dulu. Ada urusan yang lain,” ucap Dikta, lalu kembali menggenggam tangan Ratu dan pergi meninggalkan teman-teman, dan mantannya yang masih menatap mereka dengan tidak percaya itu.
Mereka kembali ke dalam mobil. Dikta yang segera menyandarkan punggungnya di kursi lalu bernafas lega, sedangkan Ratu, gadis itu masih sulit bernafas karena jantungnya selalu berdegup dengan kencang ketika berada di dekat Dikta. 
“Nafas, jangan ditahan, mati mendadak gue yang disalahin,” ucap Dikta dengan matanya yang masih tertutup. 
Ratu menurutinya, ia menghembuskan nafas dengan perlahan, lalu ia bertanya, “Kenapa bawa aku ke sini? Dan kenapa harus pura-pura jadi pacar kamu?”
Dikta membuka mata sebelah kiri, lalu menjawab, “Emang mau jadi pacar gue beneran?” 
Dengan cepat Ratu mengalihkan pandangan ke luar jendela, pipinya tiba-tiba memanas setelah mendengar pertanyaan itu. Sedetik kemudian laki-laki bermata bulat itu tertawa. “Lo baper? Gue bercanda kali. Jangan dibawa hati, nanti sakit hati gue yang disalahin.”
“Nggak lucu!”
“Iya-iya, maaf, nggak kelewatan lagi deh bercandanya,” katanya, lalu memberikan Ratu sebuah permen jahe. “Nih, biar tambah panas.”
Ratu melihat permen itu. “Nggak suka jahe,” ucapnya.
Dikta mengangguk, lalu kembali memasukkan permen itu ke tempat semula. “Oh iya, mereka temen-temen gue, dan yang ulang tahun adalah mantan gue, kita udah pacaran dari kelas satu SMP, putus tahun kemarin. Lo tau kita putusnya karena apa?”
Ratu menggelengkan kepala, ia menatap Dikta dengan serius, menunggu lanjutan dari cerita Dikta.
“Ditikung temen sendiri,” lanjutnya lalu memukul stir mobil. “Gue nggak bisa nyalahin siapapun di sini, karena gue sendiri juga salah. Dulu gue itu lebih perhatian ke osis daripada ke pacar sendiri, jadi kena tikung deh.”
“Terus sekarang masih nggak bisa move on?” 
“Bisalah,” katanya. “Orang gue udah punya pacar,” lanjutnya.
Ratu terdiam. Gadis itu tak bisa berkata, mendadak dadanya terasa sesak ketika mendengar apa yang dikatakan Dikta. Ia pikir laki-laki itu tidak punya pacar, dan jika sudah mempunyai pacar, mengapa ia harus membawa Ratu ke sini? Kenapa tidak pacarnya saja? Ini hal baru di hidup Ratu, karena gadis itu tidak pernah dikecewakan dengan harapannya sendiri.
“Pacar kamu kemana? Kenapa nggak bawa dia aja?”
“Dia di Korea, jadi kita LDR,” jawabnya. “Karena nggak mungkin gue mendadak nyuruh dia datang ke Indonesia, jadi gue ajak lo aja. Nggak apa-apa, kan?”
“Nggak apa-apa kok,” jawab Ratu sambil tersenyum palsu.
Bagaimana keadaan gadis itu bisa baik-baik saja ketika ia tau orang yang dia sukai mempunyai pacar? Tentu keadaannya sedang tidak baik-baik saja. Perasaannya benar-benar tersakiti karena kenyataan ini, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena memang bukan siapa-siapa. Jika saja Ratu diberi kesempatan, ia hanya ingin mengagumi Dikta dari jauh tanpa perlu mengenal Dikta lebih dekat. 
Tapi semua sudah terlanjur, sebentar lagi ia akan jauh lebih sering bertemu dengan Dikta. Tentu, karena Firza sudah berkata kepada Ratu bahwa laki-laki itu akan lebih sering mengantar dan menjemput Ratu sekolah, bahkan Firza dan Ridwan sudah berencana untuk memindahkan Dikta di sekolah Ratu, atau sebaliknya. Mau-tidak-mau mereka harus menuruti itu.
Iya, Firza memang berencana untuk sedikit menjauhkan Ratu dari Raja, Ksatria, dan Pangeran. Sebagai seorang Ayah, Firza memutuskan itu agar Ratu bisa menemukan apa yang dia suka, apa yang dia inginkan, dan agar Ratu bisa merasakan apa yang dirasakan perempuan lain di usianya. Gadis itu terlalu penakut untuk menghadapi hal yang lebih menyeramkan di kemudian hari, itulah yang sedang dipikirkan Firza. Istrinya memang tidak setuju dengan ini, karena Salma sangat menyayangi Ratu, Salma tidak ingin Ratu tersakiti, tapi tetap saja, Salma harus menuruti Firza sebagai kepala rumah tangga.

“Maaf ya, karena lo gue jadiin pemeran pengganti,” katanya sambil menatapku. “Gue tau mungkin perasaan lo sakit, tapi beneran gue nggak berniat gitu. Maafin gue.”
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

Hai, perkenalkan saya Wahyuning Arum. silakan e-mail ke wahyuningarum03@gmail.com untuk kerja sama

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Pengalaman Waktu Pertamakali Masuk SMP
  • Pengalaman waktu pertamakali masuk sma
  • Rekomendasi Channel Youtube untuk Pengembangan Diri
  • Ada Kegelisahan di Wajah Setiap Insan
  • Jogja Bersama dengan Kenangannya
  • Tiga Manusia; Empat bersama; Bersahabat
  • Ratu | Bagian 2 | Risma
  • Ratu | Bagian 1 | Pertemanan
  • Tentang Sepi dan Kosong yang Menjadi Momok di Sepanjang Hari
  • Rania Bahagia

Categories

  • Cerita Kita 9
  • Ratu 11
  • Rekomendasi 1
  • Review 1

Cari Blog Ini

Intellifluence Trusted Blogger

Arsip Blog

  • ►  2022 (5)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2021 (5)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (4)
  • ▼  2020 (10)
    • ►  November (1)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (1)
    • ▼  Januari (6)
      • Ratu | Bagian 8 | Cara Memendam Rasa
      • Ratu | Bagian 7 | Gue Benci Lo Nangis!
      • Ratu | Bagian 6 | Kekasihnya
      • Ratu | Bagian 5 | Dikta
      • Ratu | Bagian 4 | Putra Cs
      • Ratu | Bagian 3 | Coklat Panas
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember (2)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
  • ►  2016 (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
Diberdayakan oleh Blogger.
  • Beranda

Popular Posts

  • Rekomendasi Channel Youtube untuk Pengembangan Diri
  • Pengalaman Waktu Pertamakali Masuk SMP
  • Jadi, bahagia itu apa?
  • Tiga Manusia; Empat bersama; Bersahabat

Labels

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Template