Teman Pikiran


Malam itu aku di rumah sendiri. Ayah dan Ibu sedang menghibur diri. Kakak laki-lakiku juga sedang pergi, mencari kebahagiaan yang tak ia temukan di sini. Sedangkan kakak Perempuanku tak ada di rumah, ia tinggal di Surabaya, dan pulang besok lusa.

Seperti itulah hari-hariku di setiap malam. Sendiri, sepi, dan sunyi. Ah, mereka selayaknya temanku, iya, sepi, sunyi, dan sendiri adalah temanku. Oh, ditambah novel-novel Kakak perempuanku yang biasanya ku baca saat merasa bosan. Mungkin bisa di bilang, sebuah benda di dalam rumah adalah temanku ketika manusia tak ada bersamaku.

Malam itu aku berbicara pada salah satu teman yang menemaniku kemana pun aku pergi, bukan tempat tadi, namanya pikiran.

“Aku datang.”
Lepas senyummu, dan menangislah di pelukanku.

“Aku tak sedang ingin menangis.”
Kenapa?

“Karena cerita hari ini cukup indah.”
Bukan cerita temanmu, kan?

“Cerita mereka. Hari ini mereka bercerita dengan bahagia. Kau tau, kisah cinta mereka begitu indah, hingga membuatku tersenyum mendengarnya. Ditambah kisah-kisah bersama temannya yang sangat baik.”
Telinga dan Hati mu juga punya rasa lelah

“Berisik, diam saja kau.”
Aku tak bisa diam

“Kenapa?”
Karena aku ceritamu yang tak pernah kau selesaikan

“Kau tau, mereka tak pernah peduli denganmu. Lagian, sudah aku saja yang merasakan. Aku tak ingin mereka merasakan sakit yang kusara.”
Mereka yang tak peduli dengan ku atau kau yang tak mau memberi tahu?

“Untuk apa kau lakukan ini? Sudahlah, tak ada yang mau mendengar. Sekali ada, mereka hanya ingin tau, tanpa peduli.”
Ya sudah, tenggelamkan saja aku dihidupmu tanpa ada titik yang mengakhiri

Itulah kita, setiap malam selalu bertengkar. Memang, pikiranku tak pernah sejalan dengan hati.

Setiap malam pikiranku selalu membuatku marah. Dia tak pernah mengerti bahwa aku sudah lelah di sakiti. Aku sudah lelah diberi buangan muka. Aku sudah lelah dengan segala rekayasa. Aku pulang hanya untuk mencari tenang, tapi dia merusak semuanya. Dia malah membuat tenangku menjadi riuh kepala yang tak pernah berhenti. Seharusnya dia tau aku ingin mengakhiri tanpa perlu diungkit kembali. Ah, dasar pikiran lemah!

Dan sekarang, pikiranku malah berlari tak karuan. Membuatku pusing ingin berteriak hingga lepas segala beban kepala. Tentu saja, hujan berserta petir ganas itu mulai menghantam. Sakit sekali ketika aku mendengar suara petir ganas yang mengusik.

Sudah kubilang, jangan menyembunyikan aku!
“Sudah kubilang juga, berhenti meraung untuk hal yang tak tentu. Dan hanya menyakiti.”

Siapa bilang itu menyakiti? Kau tak tahu rasanya
“Karena aku tahu, aku diam tak berkata apapun.”

Bodoh. Dasar bodoh. Kau terlalu takut terabaikan, tapi kau malah membunuh dirimu perlahan
“Bajingan! Diam kau pikiran lemah yang tak pernah memiliki perasaan.”

Segera aku pergi dari dunia ini, berganti pada alam mimpi yang selalu membantuku istirahat walau tak benar-benar istirahat.

0 komentar