Kenalkan
namaku Eilen, tapi teman-temanku sering membaliknya, menjadi Nelie. Bel
istirahat baru saja berbunyi, bahkan guru fisikaku belum meninggalkan kelas,
Beliau masih membereskan barang-barangnya. Begitupun teman-temanku, mereka juga
sedang memebereskan barang-barang di dalam meja, lalu mengeluarkan kotak makan
yang sudah mereka bawa dari rumah.
“Saya pergi dulu ya. Assalamualaikum,” pamit
guru fisikaku sambil menjenjeng tas dan melangkah meninggalkan kelas.
Aku menoleh ke kiri, teman sebangkuku sudah
pergi duduk di bangku lain. Sendiri lagi. Lalu aku beranjak mendekat ke mereka
yang sedang menyantap makanannya. Sejak di tahun kedua sekolah menengah atas
aku tak lagi membawa bekal, karena rasanya tak seperti dulu ketika kelas
sepuluh. Asing, sangat asing, membuatku merasa aneh.
Aku menatap mereka yang saling melontarkan
candaan, sesekali bertukar makanan. Mereka riuh dan aku tak tau harus berbuat
apa, itu sebabnya aku selalu diam. Aku memilih untuk tetap tersenyum, sesekali
tertawa keras seperti apa yang mereka lakukan. Sejujurnya, di detik itu juga
aku ingin menangis. Rasanya, aku tetap merasakan sendiri, mereka ada di
depanku, mereka nyata. Tapi, perasaanku hilang perlahan, menjadi kefanaan yang
selalu menyakitkan.
Aku selalu merasa canggung bahkan ketika aku
sudah mengenal mereka berbulan-bulan. Namun, lagi-lagi rasanya sangat aneh,
masih tetap merasa sendiri.
“Eh, foto yuk.”
Semua berdiri, mengangkat ponsel, bergaya,
bersiap untuk mengambil foto. Sedangkan aku, aku memilih untuk melangkan
mundur. Memperhatikan, dan membiarkan mereka berfoto sebanyak mungkin. Aku tak
suka berfoto, aku tak bisa bergaya di depan banyak orang, aku tak suka
melakukan apa yang mereka suka. Tentu, ini salah satu alasan kenapa aku merasa
asing. Dunia kita berbeda.
Aku duduk kembali di kursi. Memperhatikan
mereka yang berfoto dengan gaya bebas, seperti tak ada pikiran yang mengganjal
ketika menatap wajah masing-masing. Sendiri lagi. Tak di rumah, di sekolah,
selalu sendiri. Aku tersenyum melihat mereka, aku ingin seperti itu. Aku ingin
berfoto, tertawa, bercanda sebebas itu. Mereka masih bisa melakukannya walau
aku tau hidup mereka tak sebahagia itu.
Oke. Bel pulang sudah berbunyi, aku melangkan
menuju tempat parkir, mencari keberadaan motorku. Meninggalkan sekolah, satu
beban mulai runtuh. Batinku selalu berteriak, “Cepat sampai rumah! Cepat sampai
rumah! Lalu istirahatlah.” Yah, walau aku tau bahkan di rumah pun aku akan
sendiri, aku tak memiliki teman. Karena ego.
Tak ada yang bisa menjadi temanku, itu
kenyataan. Orang-orang mungkin tak akan bisa membuatku bertahan di sisi mereka,
dan aku yang jelas akan memilih mundur jika sudah merasa tak nyaman. Jangan
tanyakan mengapa aku menjadi seperti ini, karena aku benar-benar tidak tau.
Tiba-tiba segalanya berubah, menjadi asing, menjadi aneh, dan menjadi
menyedihkan.
Mungkin, jika seseorang sudah sedat denganku
sejak dulu dan aku menceritakan apa yang terjadi sekarang, mereka tidak akan
percaya. Seperti malam itu, percakapanku dengan Kakak.
“Mbak itu orangnya nggak bisa kayak kamu,
tertawa sama temen, bercanda sama temen. Mbak bercanda itu Cuma sama kamu,”
begitu katanya sambil menggangguku yang sedang tiduran di kamar.
“Aku pendiam kok.”
“Nggak mungkin.”
Aku hanya tersenyum ketika Mbak berbicara
seperti itu. Tak ada yang benar-benar mengetahuiku, bahkan Mbak. Tidak ada yang
tau bagaimana perasaanku yang sebenarnya, tak ada yang tau rasa sepi yang
selalu kurasakan. Aku memang tertawa keras, tapi semua itu tak berguna, karena
dengan akhirnya aku akan menangis di rumah.