Raja berjalan menyusuri lorong rumah
sakit. Sudah hampir satu bulan ia tak datang ke rumah sakit, karena sibuk
dengan pekerjaannya yang menjadi seorang penjual Kebab. Leo tidak mengalami
kebangkrutan atau apapun itu, tapi Raja hanya ingin mencoba mencari
uangsendiri, dengan cara menjadi penjual kebab. Dia hanya ingin hidup lebih
realistis.
Ia berhenti
di depan ruangan VIP mawar, diam sejenak, lalu membuka pintu putih itu dengan
perlahan, “Assalamualaikum,” Ia berjalan mendekat ke seorang gadis yang sedang
memejamkan mata dengan alat-alat medis yang menempel di tubuhnya.
Gadis itu
adalah Gadis yang bisa membuat Raja tertawa dengan begitu keras. Dia adalah
cinta pertama Raja. Sosok Gadis yang kedatangannya selalu dinanti oleh
laki-laki tampan itu. Namun, sudah hampir satu tahun Raja tidak bisa
mendapatkan apa yang dia inginkan. Sosok yang dicintainya sekarang sedang diam
membisu, tak bergerak, tak ada suara yang keluar dari mulutnya, hanya ada suara
nafas yang semakinhari semakin menghilang.
“Ris, apa
kabar?” Raja meraih tangan gadis itu, menggenggamnya dengan begitu erat. “Saya
kangen sama kamu. Tolong buka mata kamu, lihat saya yang selalu menanti kamu.”
Tak ada
jawaban. Itu lah yang selalu dilakukan Raja setiap datang ke sini. Berbicara
sendiri tanpa ada jawaban dari setiap pertanyaannya. Tapi, Raja bukan laki-laki
yang mudah menyerah, dia selalu berusaha berbicara pada Risma, dia percaya
bahwa Risma bisa mendengar ucapannya, walau mata nya sedang tertutup.
Risma mengalami
kecelakaan ketika perjalanan pergi ke tempat latihan balet. Malam itu, dia
pergi bersama Raja, dan mobil mereka ditabrak oleh truk gandeng. Raja hanya
mendapat luka yang tak cukup parah, sehingga dia hanya dirawat di rumah sakit
beberapa hari, sedangkan Risma, kepalanya terbentur dashboard dengan keras, dan
terkena serpihan pecahan kaca.
“Ris,
sekarang saya jualan kebab. Saya Cuma pengen nggak ngerepotin Ayah sama Ibu.
Kamu nggak mau bangun terus coba kebab buatan saya?”
Raja terus
berbicara, ia menceritakan semua yang terjadi di sekolah, dia rumah, dimana pun
tempat yang pernah dia kunjungi. Sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul
delapan malam, sudah waktunya untuk pulang.
“Saya pulang
dulu. Assalamullaikum,” Raja mencium kening Risma, lalu pergi dari tempat yang
selalu membuat Raja merasa dunianya menghilang, kebahagiaannya tak ada.
***
“Sat, Si
Raja belum pulang?” tanya Pangeran pada Ksatria yang sedang bermain ponsel.
Mereka
sedang berada di rumah Ratu, karena Ratu bilang ia sedang tak ingin keluar
rumah. Itu sebabnya mereka memutuskan untuk berkumpul di rumah gadis itu.
Apapun yang diinginkan oleh gadis itu, mereka akan mengabulkannya.
“Belum kayaknya,”
jawab Ksatria. “Emang kenapa?”
“Enggak.”
Ksatria melangkah
mendekat ke Pangeran, lalu duduk di samping laki-laki berkulit putih itu.
“Lupain Risma, Ran. Biarin dia sama Raja,” ucap Ksatria.
Pangeran dan
Raja memang menyukai perempuan yang sama, memang yang menyukai, mengenal Risa
duluan adalah Raja. Setelah Raja memperkenalkan Risma pada tiga temannya itu,
Pangeran mulai menyukai Risma. Bahkan hingga sekarang Raja belum mengetahui
bahwa seseorang yang dicintainya itu juga dicintai sahabatnya sendiri.
“Nggak bisa, Sat.
Gue tau Raja sahabat gue, tapi alasan itu nggak bisa ngebuat gue untuk berhenti
suka sama Risma.”
“Terus mau lo
gimana? Lo mau terus-terusan kayak gini?”
“Udahlah,
Sat. Lo tenang aja gue bukan anak yang bisa dikendali sama cinta,” kata
Pangeran sambil tersenyum.
Ksatria
adalah anak yang paling khawatir tentang ketiga sahabatnya ini. Dia selalu
mencoba untuk ada, untuk bisa, bersama mereka ketika mereka membutuhkan.
Laki-laki bergigi gingsul ini begitu perhatian, apalagi tentang Risma. Dia
begitu takut jika Raja tahu bahwa Pangeran menyukai Risma, dan Raja melakukan
hal yang tidak-tidak, karena Raja akan berubah menjadi laki-laki yang begitu
sensitif jika berhubungan dengan gadis itu.
“Assalamualalikum.”
Pangeran dan
Ksatria menoleh, melihat Raja yang berjalan dengan kedua tangannya yang membawa
dua kantong plastik berwarna putih. Laki-laki itu masih menggunakan seragam
putih abu-abunya. Dia menaruh kedua kantong plastik itu, lalu duduk di samping
Pangeran. Terlihat sekali bahwa Raja capek, wajahnya begitu lesu, kusam, dan
bibirnya pucat.
“Lo belum
pulang sama sekali?” tanya Pangeran.
Raja
menggelengkan kepala, lalu bangkit dari tempat duduknya. “Gue mandi dulu,”
katanya.
“Tuh anak
kenapa?” Ksatria bergumam, lalu membuka kantong plastik itu yang ternyata
berisi, makanan ringan semua.
“Pangeran!”
teriak Ratu dari dalam kamarnya.
Pangeran
membulatkan bola matanya, jika Ratu sudah berteriak di jam delapan, itu artinya
Ratu terkunci di dalam kamar. Itulah kebiasaan Ratu, mengunci pintu dan
kuncinya hilang. Mungkin, dalam satu bulan Firza harus mengganti kunci kamar
Ratu sepuluh kali. Gadis itu memang pelupa, dari kecil ia selalu kehilangan
anting yang dibelikan oleh Firza, hingga akhirnya Firza tidak mau membelikan
barang berharga untuk Ratu.
“Minggir!”
teriak Pangeran dari luar kamar, dia bersiap-siap untuk mendobrak pintu itu.
Setelah
Pangeran mendobrak, pintu terbuka, memperlihatkan gadis berkulit putih yang
menggunakan baju tidur berwarna hitam. Ratu tersenyum lebar, dia selalu
tersenyum saat melihat wajah Pangeran yang seperti akan mengeledak. Wajahnya
memerah, rahangnya mengeras, dan matanya membulat, itu adalah tontonan yang
sangat lucu bagi Ratu.
“Terimakasih,
Pangeran,” ucap Ratu. “Raja udah datang atau belum?”
“Udah, dia
lagi mandi,” jawab Pangeran. “Ra, jangan tutup pintu lagi ya. Gue kasihan sama
Om Firza, uangnya habis cuma buat beli kunci pintu kamar lo doang.”
“Nanti kalau
gue ganti baju, terus ada yang ngintip gimana? Gue nggak mau ya.”
“Lagian
siapa sih yang mau ngintip? Di rumah ini cuma ada Lo, Om Firza, Tante Salma,
Gue, Raja, sama Ksatria doang. Terus siapa yang mau ngintip lo?”
“Pangeran.”
“Astagfirullah.
Sebejat-bejatnya gue, nggak akan kali gue kayak gitu ke lo.”
“Udah ah,
intinya Ratu nggak mau kalau kamarnya nggak ditutup.”
Pangeran
menghela nafas pasrah, gadis ini sangat keras kepala.
“Ja, keadaan
Risma gimana?” tanya Pangeran, walaupun laki-laki itu sudah tau bagaimana
keadaan Risma, karena kemarin dia sudah berkunjung.
“Masih
sama,” jawab Raja lalu membuka novelnya.
“Ja,
semangat ya,” ucap Ratu sambil tersenyum begitu lebar.
Raja
mengangguk dan tersenyum. Iya, setiap saat ketika Raja pulang dari rumah sakit,
Raja selalu berkata seperti itu. Raja tidak tau kenapa gadis itu selalu
menyemangati dirinya.
“Oh iya,
tadi waktu Ratu mau ke toilet tiba-tiba ada cowok yang nggak Ratu kenal, dia
ngelamar Ratu. Katanya, kalau Ratu nolak dia, Ratu bakalan dibunuh.” Ratu
mengambil jeda sejenak. “Susah ya, jadi cewek cantik, banyak banget yang pengen
jadi pacar Ratu.”
“Muka kayak
tutup panci aja kebanyakan gaya lo,” cibir Pangeran.
“Lo kenapa
sih? Dari dulu ngatain gue terus, nggak usah gengsi gitu. Gue tau kok lo itu
iri sama wajah cantik gue, sedangkan wajah lo kalah ganteng sama wajahnya Raja
dan Ksatria.”
“Cih, wajah
lo itu emang kayak tutup panci. Dan cowok yang pengen jadi pacar lo itu matanya
mungkin lagi sakit.”
“Heh,
cewek-cewek yang ngasih lo makanan itu cuma kasihan sama lo karena wajah lo
paling jelek diantara lo, Ksatria sama Pangeran.”
“Heh, udah.
Lo berdua mau berantem terus sampai kapan,” Ksatria bicara dengan nada sedikit
tinggi. “Capek tau nggak.”
“Bang Sat!”
teriak anak laki-laki dari pintu.
Ksatria
menoleh. “Bocah! Gue bilang jangan panggil gue Bang Sat.”
Anak
laki-laki itu mengulurkan lidahnya keluar, “Nggak peduli, Bang Sat.” Anak itu
berjalan ke arah Pangeran. “Bang Ran, mabar yuk.”
“Ogah, males
gue. Lagian, lo bocah esde pulang jam segini. Gede lo mau jadi apa?”
“Jadi Reno
dong.”
“Udah masuk
sana,” ucap Ratu.
Reno adalah
adik Ratu yang masih kelas empat, anak laki-laki itu sangat nakal. Jika Ratu
sering menghilangkan barang berharga, Reno sering kehilangan tas sekolah.
Laki-laki kecil itu setiap pulang sekolah tidak langsung pulang, melainkan main
entah kemana dan lupa membawa tas sekolahnya pulang. Sampai akhirnya, Firza
memutuskan untuk menaruh semua buku di sekolah, dan membeli buku lagi untuk
belajar di rumah. Firza pun bingung, kedua anaknya ini seperti siapa.
***
Ratu
berjalan di gang kecil, gang agar cepat sampai ke tempat pangkalan angkot. Gang
itu benar-benar sepi, kadang ramai saat ada orang yang lagi ngelabrak. Hari
ini, Raja sedang pergi ke rumah sakit, Pangeran ada latihan futsal, sedangkan
Ksatria dia harus hadir di acara bakti sosial, itu sebabnya sekarang Ratu harus
pulang sendiri. Jika ketika temannya itu tau bahwa gadis ini naik angkot,
mereka pasti marah.
Ratu
berhenti ketika dari jauh dia melihat tiga perempuan yang memakai rok begitu
ketat sedang marah ke satu perempuan. Ratu mengenali mereka, tiga perempuan itu
dari sekolah lain, sedangkan yang satu, dia teman sekolah dasar Ratu. Namanya
Nina. Ratu berjalan melewati mereka, gadis ini hanya meliriknya saja, tanpa
membantu.
Tak lama
kemudian, sebuah kaki melayang mengenai punggung ketiga gadis itu. Itu adalah
kaki milik Ratu. Ratu memang anak silat, saat SMP dia mendapatkan banyak
penghargaan dari silat, tapi ketika SMA dia berhenti, karena sudah bosan.
Ketika gadis
itu memandang Ratu dengan kesal, salah satu dari mereka berkata pada Ratu, “Lo
itu siapa, sih? Nggak usah ikut campur urusan orang yah!”
Ratu
mengangkat satu ujung bibirnya, “Lo yakin masih tanya gue siapa? Lo yakin nggak
tau gue siapa?”
“Eh, lo itu
jangan sombong. Jangan sok berani hanya karena lo dijaga sama tiga cowok yang
terkenal!”
“Yah nggak
apa-apa kan gue sombong, kan ada yang gue sombongin. Gue punya tiga cowok yang
ganteng, perhatian, dan selalu jaga gue.” Ratu diam sejenak. “Lah elo, muka
kayak pantatnya panci aja sok-sokan mau sombong.”
“Mau lo apa
ngatain gue kayak gitu!”
“Mau lo juga
apa ngelabrak anak orang kayak gitu. Sumpah, lo bawa cermin kan? Ngaca mbak, lo
udah lebih baik dari orang yang lo labrak, nggak? Uang masih minta orang tua,
nilai masih dibawah KKM aja sok-sokan mau ngelabrak anak orang.”
“Heh
terserah gue lah, uang orang tua gue, nilai gue, ngapain lo yang repot?”
“Nah itu
sebabnya, hidup-hidup dia, ngapain lo repot?”
“Lo berani
kayak gini hanya karena lo dijaga sama tiga cowok itu, kan?”
“Iya dong.
Gue kan dijaga sama tiga cowok yang kuat-kuat. Lah lo, udah cuma dua cewek,
lembek-lembek pula.” Lagi-lagi Ratu tersenyum, sebenarnya dia sangat suka
bertengkar dengan kata-kata daripada kekerasan, karena dia tau, kata-kata jauh
lebih menyakitkan daripada kekerasan. “Udah, deh. Mending lo pulang, dan cari
kerja buat perawatan, karena wajah Nina jauh lebih bersih dari wajah lo.”
Tiga
perempuan itu pergi, lalu Ratu membantu Nina untuk berdiri. “Makasih ya, Ra,”
kata Nina dengan suaranya yang bergetar.
“Iya, lain
kali kalau digituin jangan diem aja. Mereka nggak berhenti kalau kita nggak
turun tangan.”
Nina
mengangguk sambil tersenyum.
Ratu dan
Nina membalikkan badan, lalu mereka melihat Raja, Ksatria, dan Pangeran yang
sudah berdiri dibawah pohon mangga sambil tersenyum. Ratu membuka matanya
lebar-lebar, karena masih tidak percaya kalau ketika laki-laki itu datang, kan
mereka sedang ada acara lain.
“Kalian kok
di sini? Kenapa nggak bilang sama Ratu?” Wajah garangnya tadi sudah menghilang
ketika bertemu ketika temannya ini.
“Lo tau
sendiri Raja kayak orang yang punya indra keenam. Tiba-tiba jemput gue sama
Pangeran dan bilang ‘Ratu dalam bahaya’” jawab Ksatria.
“Terus
Risma? Latihan futsal? Bakti sosialnya gimana?”
“Udah. Ayo
pulang,” kata Raja lalu pergi mendahului mereka.
“Lo
beruntung ya punya mereka,” ucap Nina.
Ratu
tersenyum dan mengangguk, “Iya. Gue rasa gue manusia paling beruntung di dunia,
gue manusia yang bener-bener nggak pantas buat ngeluh.”
4 komentar
Aku menunggu kelanjutannya kak btw knp lanjut disini ya?
BalasHapusNggak kenapa-kenapa.
HapusNexttttttttttttt
BalasHapusNexttttttttttttt
BalasHapus