Dunia Ning Arum

Enjoy how my life and the lives of others

  • Home
  • About Me
  • Social
  • Features
    • Lifestyle
    • Sports Group
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Contact Us


Ketika kita sedih, jangan pernah berharap seorang teman akan datang dan menggenggam tanganmu, karena jika itu tak terjadi maka kecewa akan menghampirimu dan membuat kesedihan itu semakin menjadi-jadi. Kita hidup tidak bisa selalu tergantung dengan teman, sedih dikit panggil teman, kalau temanmu nggak ada saat kamu butuh, kamu maki-maki dia. Seharusnya kamu tau, manusia punya kesibukan masing-masing, mungkin temanmu memang sedang sibuk. Tak apa, ketika kamu sedih dan temanmu tak ada, kamu tak akan mati.

Sekarang, coba pikirkan, sebanyak apapun temanmu berkata untuk menenangkan, atau untuk menguatkan kamu, tapi kamu sendiri tak percaya bahwa kamu bisa, mana mungkin ada perubahan? Sebelum berbicara pada temanmu, coba bicara pada dirimu sendiri. Siapkah kamu melepas kesedihan? Percayakah dirimu bahwa kamu bisa melepas kesedihan itu? Semua tergantung dirimu, jadi utamakan dirimu. Buat dirimu percaya bahwa kamu bisa melewati segalanya.

Jangan sedih berlarut-larut dengan melihat story-story temanmu yang kelihatannya hidup mereka jauh lebih bahagia dari hidupmu. Letakkan saja ponselmu, bangkit dari tempat tidurmu, usap air matamu, mendekatlah ke cermin, tatap manusia dicermin itu, lalu senyum dan katakan, “Kamu bisa melewati segalanya. Kamu bisa melepas kesedihan. Tak apa ini hanya sebuah rencana Tuhan agar kamu menjadi manusia kuat. Semangat!”

Yah, tentu aku sering mencoba itu. Setiap kali aku melihat nilai ulanganku yang begitu jelek, jelas aku selalu menangis ketika sampai rumah, menangis seharian, sendiri di dalam kamar. Aku cukup takut untuk cerita ke teman, bukan hanya karena gengsi, tapi karena mereka mungkin tak bisa jadi solusi. Aku selalu memilih untuk membaca novel, agar pikiranku teralihkan, sampai akhirnya ketika aku benar-benar tak bisa menahan segalanya. Aku bangkit, dan berkata pada manusia didalam cermin. Aku berkata apapun untuk menguatkanku, apapun itu. Mungkin kalian tau sebuah kalimat dari Charlie Chaplin, yaitu ‘Miror is my best friend, because when i cry it never laughs.’ Betul, bukan? Cermin adalah caraku untuk berbicara pada diriku sendiri.

Jadi, sekali-kali kamu boleh bercerita bada teman, agar hidup tidak terlalu menyesakkan. Tapi jangan paksa mereka ketika mereka tak punya waktu untukmu. Mereka punya kehidupan sendiri, mungkin saja temanmu itu juga sedang ada masalah. Apa kamu mau menjadi tambahan beban untuknya? Sebelum bercerita ke teman, coba tanyakan dulu, “Situasi hari ini bagaimana? Lancarkah?” bahkan ketika kamu tanya begitu, temanmu juga bisa saja berbohong untuk menutupi masalah. Tanyakan lagi, “Apa sedang ada masalah?” 

Sebelum kamu ingin diperhatikan oleh orang lain, coba perhatikan orang itu dulu. Karena orang yang terlihat tentram, terlihat bahagia, biasanya adalah orang yang sedang menutupi luka hidupnya.

Sebelum mencari teman yang baik cobalah menjadi teman yang baik. Semuanya harus dimulai dari dirimu sendiri, maka perubahan akan terjadi. Tapi ketika kamu melewatkan dirimu, maka langkah-langkah berikutnya bisa jadi beban untukmu. Istirahatlah sebentar kalau kamu memang sudah lelah, lancarkanlah nafasmu. Kamu harus hidup dengan kebahagiaan, jangan hidup untuk mencari kebahagiaan. Kamu kuat akan segala hal. Sekali lagi, percayalah pada dirimu bahwa kamu bisa. Jangan menangis, tetaplah tersenyum, karena bagaimana kamu bisa tersenyum ketika airmata jatuh membasahi pipimu. Senyumlah maka airmata itu akan berhenti.

Semangat! Percayalah bahwa Tuhan memberikan kita cobaan sesuai dengan porsi masing-masing. Tuhan memberimu cobaan, karena Tuhan tau kamu mampu melewatinya, dan kamu akan menjadi manusia yang lebih kuat setelahnya. Tersenyumlah untuk dirimu dulu, lalu untuk orang lain. Tenangkan dirimu dulu, baru orang lain. Mulailah dari dirimu dahulu.



            Raja berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Sudah hampir satu bulan ia tak datang ke rumah sakit, karena sibuk dengan pekerjaannya yang menjadi seorang penjual Kebab. Leo tidak mengalami kebangkrutan atau apapun itu, tapi Raja hanya ingin mencoba mencari uangsendiri, dengan cara menjadi penjual kebab. Dia hanya ingin hidup lebih realistis.

            Ia berhenti di depan ruangan VIP mawar, diam sejenak, lalu membuka pintu putih itu dengan perlahan, “Assalamualaikum,” Ia berjalan mendekat ke seorang gadis yang sedang memejamkan mata dengan alat-alat medis yang menempel di tubuhnya.

            Gadis itu adalah Gadis yang bisa membuat Raja tertawa dengan begitu keras. Dia adalah cinta pertama Raja. Sosok Gadis yang kedatangannya selalu dinanti oleh laki-laki tampan itu. Namun, sudah hampir satu tahun Raja tidak bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Sosok yang dicintainya sekarang sedang diam membisu, tak bergerak, tak ada suara yang keluar dari mulutnya, hanya ada suara nafas yang semakinhari semakin menghilang. 

             “Ris, apa kabar?” Raja meraih tangan gadis itu, menggenggamnya dengan begitu erat. “Saya kangen sama kamu. Tolong buka mata kamu, lihat saya yang selalu menanti kamu.”

            Tak ada jawaban. Itu lah yang selalu dilakukan Raja setiap datang ke sini. Berbicara sendiri tanpa ada jawaban dari setiap pertanyaannya. Tapi, Raja bukan laki-laki yang mudah menyerah, dia selalu berusaha berbicara pada Risma, dia percaya bahwa Risma bisa mendengar ucapannya, walau mata nya sedang tertutup.

            Risma mengalami kecelakaan ketika perjalanan pergi ke tempat latihan balet. Malam itu, dia pergi bersama Raja, dan mobil mereka ditabrak oleh truk gandeng. Raja hanya mendapat luka yang tak cukup parah, sehingga dia hanya dirawat di rumah sakit beberapa hari, sedangkan Risma, kepalanya terbentur dashboard dengan keras, dan terkena serpihan pecahan kaca.

            “Ris, sekarang saya jualan kebab. Saya Cuma pengen nggak ngerepotin Ayah sama Ibu. Kamu nggak mau bangun terus coba kebab buatan saya?”

            Raja terus berbicara, ia menceritakan semua yang terjadi di sekolah, dia rumah, dimana pun tempat yang pernah dia kunjungi. Sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul delapan malam, sudah waktunya untuk pulang.

            “Saya pulang dulu. Assalamullaikum,” Raja mencium kening Risma, lalu pergi dari tempat yang selalu membuat Raja merasa dunianya menghilang, kebahagiaannya tak ada.

***

            “Sat, Si Raja belum pulang?” tanya Pangeran pada Ksatria yang sedang bermain ponsel.

            Mereka sedang berada di rumah Ratu, karena Ratu bilang ia sedang tak ingin keluar rumah. Itu sebabnya mereka memutuskan untuk berkumpul di rumah gadis itu. Apapun yang diinginkan oleh gadis itu, mereka akan mengabulkannya.

            “Belum kayaknya,” jawab Ksatria. “Emang kenapa?”

            “Enggak.”

            Ksatria melangkah mendekat ke Pangeran, lalu duduk di samping laki-laki berkulit putih itu. “Lupain Risma, Ran. Biarin dia sama Raja,” ucap Ksatria.

             Pangeran dan Raja memang menyukai perempuan yang sama, memang yang menyukai, mengenal Risa duluan adalah Raja. Setelah Raja memperkenalkan Risma pada tiga temannya itu, Pangeran mulai menyukai Risma. Bahkan hingga sekarang Raja belum mengetahui bahwa seseorang yang dicintainya itu juga dicintai sahabatnya sendiri.

            “Nggak bisa, Sat. Gue tau Raja sahabat gue, tapi alasan itu nggak bisa ngebuat gue untuk berhenti suka sama Risma.”

            “Terus mau lo gimana? Lo mau terus-terusan kayak gini?”

            “Udahlah, Sat. Lo tenang aja gue bukan anak yang bisa dikendali sama cinta,” kata Pangeran sambil tersenyum.

            Ksatria adalah anak yang paling khawatir tentang ketiga sahabatnya ini. Dia selalu mencoba untuk ada, untuk bisa, bersama mereka ketika mereka membutuhkan. Laki-laki bergigi gingsul ini begitu perhatian, apalagi tentang Risma. Dia begitu takut jika Raja tahu bahwa Pangeran menyukai Risma, dan Raja melakukan hal yang tidak-tidak, karena Raja akan berubah menjadi laki-laki yang begitu sensitif jika berhubungan dengan gadis itu.

            “Assalamualalikum.”

            Pangeran dan Ksatria menoleh, melihat Raja yang berjalan dengan kedua tangannya yang membawa dua kantong plastik berwarna putih. Laki-laki itu masih menggunakan seragam putih abu-abunya. Dia menaruh kedua kantong plastik itu, lalu duduk di samping Pangeran. Terlihat sekali bahwa Raja capek, wajahnya begitu lesu, kusam, dan bibirnya pucat.

            “Lo belum pulang sama sekali?” tanya Pangeran.

            Raja menggelengkan kepala, lalu bangkit dari tempat duduknya. “Gue mandi dulu,” katanya.

            “Tuh anak kenapa?” Ksatria bergumam, lalu membuka kantong plastik itu yang ternyata berisi, makanan ringan semua.

            “Pangeran!” teriak Ratu dari dalam kamarnya.

            Pangeran membulatkan bola matanya, jika Ratu sudah berteriak di jam delapan, itu artinya Ratu terkunci di dalam kamar. Itulah kebiasaan Ratu, mengunci pintu dan kuncinya hilang. Mungkin, dalam satu bulan Firza harus mengganti kunci kamar Ratu sepuluh kali. Gadis itu memang pelupa, dari kecil ia selalu kehilangan anting yang dibelikan oleh Firza, hingga akhirnya Firza tidak mau membelikan barang berharga untuk Ratu.

            “Minggir!” teriak Pangeran dari luar kamar, dia bersiap-siap untuk mendobrak pintu itu.

            Setelah Pangeran mendobrak, pintu terbuka, memperlihatkan gadis berkulit putih yang menggunakan baju tidur berwarna hitam. Ratu tersenyum lebar, dia selalu tersenyum saat melihat wajah Pangeran yang seperti akan mengeledak. Wajahnya memerah, rahangnya mengeras, dan matanya membulat, itu adalah tontonan yang sangat lucu bagi Ratu.

            “Terimakasih, Pangeran,” ucap Ratu. “Raja udah datang atau belum?”

            “Udah, dia lagi mandi,” jawab Pangeran. “Ra, jangan tutup pintu lagi ya. Gue kasihan sama Om Firza, uangnya habis cuma buat beli kunci pintu kamar lo doang.”

            “Nanti kalau gue ganti baju, terus ada yang ngintip gimana? Gue nggak mau ya.”

            “Lagian siapa sih yang mau ngintip? Di rumah ini cuma ada Lo, Om Firza, Tante Salma, Gue, Raja, sama Ksatria doang. Terus siapa yang mau ngintip lo?”

            “Pangeran.”

            “Astagfirullah. Sebejat-bejatnya gue, nggak akan kali gue kayak gitu ke lo.”

            “Udah ah, intinya Ratu nggak mau kalau kamarnya nggak ditutup.”

            Pangeran menghela nafas pasrah, gadis ini sangat keras kepala.

            “Ja, keadaan Risma gimana?” tanya Pangeran, walaupun laki-laki itu sudah tau bagaimana keadaan Risma, karena kemarin dia sudah berkunjung.

            “Masih sama,” jawab Raja lalu membuka novelnya.

            “Ja, semangat ya,” ucap Ratu sambil tersenyum begitu lebar.

            Raja mengangguk dan tersenyum. Iya, setiap saat ketika Raja pulang dari rumah sakit, Raja selalu berkata seperti itu. Raja tidak tau kenapa gadis itu selalu menyemangati dirinya.

            “Oh iya, tadi waktu Ratu mau ke toilet tiba-tiba ada cowok yang nggak Ratu kenal, dia ngelamar Ratu. Katanya, kalau Ratu nolak dia, Ratu bakalan dibunuh.” Ratu mengambil jeda sejenak. “Susah ya, jadi cewek cantik, banyak banget yang pengen jadi pacar Ratu.”

            “Muka kayak tutup panci aja kebanyakan gaya lo,” cibir Pangeran.

            “Lo kenapa sih? Dari dulu ngatain gue terus, nggak usah gengsi gitu. Gue tau kok lo itu iri sama wajah cantik gue, sedangkan wajah lo kalah ganteng sama wajahnya Raja dan Ksatria.”

            “Cih, wajah lo itu emang kayak tutup panci. Dan cowok yang pengen jadi pacar lo itu matanya mungkin lagi sakit.”

            “Heh, cewek-cewek yang ngasih lo makanan itu cuma kasihan sama lo karena wajah lo paling jelek diantara lo, Ksatria sama Pangeran.”

            “Heh, udah. Lo berdua mau berantem terus sampai kapan,” Ksatria bicara dengan nada sedikit tinggi. “Capek tau nggak.”

            “Bang Sat!” teriak anak laki-laki dari pintu.

            Ksatria menoleh. “Bocah! Gue bilang jangan panggil gue Bang Sat.”

            Anak laki-laki itu mengulurkan lidahnya keluar, “Nggak peduli, Bang Sat.” Anak itu berjalan ke arah Pangeran. “Bang Ran, mabar yuk.”

            “Ogah, males gue. Lagian, lo bocah esde pulang jam segini. Gede lo mau jadi apa?”

            “Jadi Reno dong.”

            “Udah masuk sana,” ucap Ratu.

            Reno adalah adik Ratu yang masih kelas empat, anak laki-laki itu sangat nakal. Jika Ratu sering menghilangkan barang berharga, Reno sering kehilangan tas sekolah. Laki-laki kecil itu setiap pulang sekolah tidak langsung pulang, melainkan main entah kemana dan lupa membawa tas sekolahnya pulang. Sampai akhirnya, Firza memutuskan untuk menaruh semua buku di sekolah, dan membeli buku lagi untuk belajar di rumah. Firza pun bingung, kedua anaknya ini seperti siapa.

***

            Ratu berjalan di gang kecil, gang agar cepat sampai ke tempat pangkalan angkot. Gang itu benar-benar sepi, kadang ramai saat ada orang yang lagi ngelabrak. Hari ini, Raja sedang pergi ke rumah sakit, Pangeran ada latihan futsal, sedangkan Ksatria dia harus hadir di acara bakti sosial, itu sebabnya sekarang Ratu harus pulang sendiri. Jika ketika temannya itu tau bahwa gadis ini naik angkot, mereka pasti marah.

            Ratu berhenti ketika dari jauh dia melihat tiga perempuan yang memakai rok begitu ketat sedang marah ke satu perempuan. Ratu mengenali mereka, tiga perempuan itu dari sekolah lain, sedangkan yang satu, dia teman sekolah dasar Ratu. Namanya Nina. Ratu berjalan melewati mereka, gadis ini hanya meliriknya saja, tanpa membantu.

            Tak lama kemudian, sebuah kaki melayang mengenai punggung ketiga gadis itu. Itu adalah kaki milik Ratu. Ratu memang anak silat, saat SMP dia mendapatkan banyak penghargaan dari silat, tapi ketika SMA dia berhenti, karena sudah bosan.

            Ketika gadis itu memandang Ratu dengan kesal, salah satu dari mereka berkata pada Ratu, “Lo itu siapa, sih? Nggak usah ikut campur urusan orang yah!”

            Ratu mengangkat satu ujung bibirnya, “Lo yakin masih tanya gue siapa? Lo yakin nggak tau gue siapa?”

            “Eh, lo itu jangan sombong. Jangan sok berani hanya karena lo dijaga sama tiga cowok yang terkenal!”

            “Yah nggak apa-apa kan gue sombong, kan ada yang gue sombongin. Gue punya tiga cowok yang ganteng, perhatian, dan selalu jaga gue.” Ratu diam sejenak. “Lah elo, muka kayak pantatnya panci aja sok-sokan mau sombong.”

            “Mau lo apa ngatain gue kayak gitu!”

            “Mau lo juga apa ngelabrak anak orang kayak gitu. Sumpah, lo bawa cermin kan? Ngaca mbak, lo udah lebih baik dari orang yang lo labrak, nggak? Uang masih minta orang tua, nilai masih dibawah KKM aja sok-sokan mau ngelabrak anak orang.”

            “Heh terserah gue lah, uang orang tua gue, nilai gue, ngapain lo yang repot?”

            “Nah itu sebabnya, hidup-hidup dia, ngapain lo repot?”

            “Lo berani kayak gini hanya karena lo dijaga sama tiga cowok itu, kan?”

            “Iya dong. Gue kan dijaga sama tiga cowok yang kuat-kuat. Lah lo, udah cuma dua cewek, lembek-lembek pula.” Lagi-lagi Ratu tersenyum, sebenarnya dia sangat suka bertengkar dengan kata-kata daripada kekerasan, karena dia tau, kata-kata jauh lebih menyakitkan daripada kekerasan. “Udah, deh. Mending lo pulang, dan cari kerja buat perawatan, karena wajah Nina jauh lebih bersih dari wajah lo.”

            Tiga perempuan itu pergi, lalu Ratu membantu Nina untuk berdiri. “Makasih ya, Ra,” kata Nina dengan suaranya yang bergetar.

            “Iya, lain kali kalau digituin jangan diem aja. Mereka nggak berhenti kalau kita nggak turun tangan.”

            Nina mengangguk sambil tersenyum.

            Ratu dan Nina membalikkan badan, lalu mereka melihat Raja, Ksatria, dan Pangeran yang sudah berdiri dibawah pohon mangga sambil tersenyum. Ratu membuka matanya lebar-lebar, karena masih tidak percaya kalau ketika laki-laki itu datang, kan mereka sedang ada acara lain.

            “Kalian kok di sini? Kenapa nggak bilang sama Ratu?” Wajah garangnya tadi sudah menghilang ketika bertemu ketika temannya ini.

            “Lo tau sendiri Raja kayak orang yang punya indra keenam. Tiba-tiba jemput gue sama Pangeran dan bilang ‘Ratu dalam bahaya’” jawab Ksatria.

            “Terus Risma? Latihan futsal? Bakti sosialnya gimana?”

            “Udah. Ayo pulang,” kata Raja lalu pergi mendahului mereka.

            “Lo beruntung ya punya mereka,” ucap Nina.

            Ratu tersenyum dan mengangguk, “Iya. Gue rasa gue manusia paling beruntung di dunia, gue manusia yang bener-bener nggak pantas buat ngeluh.”



Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

Hai, perkenalkan saya Wahyuning Arum. silakan e-mail ke wahyuningarum03@gmail.com untuk kerja sama

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Pengalaman Waktu Pertamakali Masuk SMP
  • Pengalaman waktu pertamakali masuk sma
  • Rekomendasi Channel Youtube untuk Pengembangan Diri
  • Ada Kegelisahan di Wajah Setiap Insan
  • Jogja Bersama dengan Kenangannya
  • Tiga Manusia; Empat bersama; Bersahabat
  • Ratu | Bagian 2 | Risma
  • Ratu | Bagian 1 | Pertemanan
  • Tentang Sepi dan Kosong yang Menjadi Momok di Sepanjang Hari
  • Rania Bahagia

Categories

  • Cerita Kita 9
  • Ratu 11
  • Rekomendasi 1
  • Review 1

Cari Blog Ini

Intellifluence Trusted Blogger

Arsip Blog

  • ►  2022 (5)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2021 (5)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (4)
  • ►  2020 (10)
    • ►  November (1)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (6)
  • ▼  2019 (10)
    • ►  Desember (2)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (1)
    • ▼  Mei (2)
      • Mulailah Dari Dirimu Sendiri
      • Ratu | Bagian 2 | Risma
    • ►  April (2)
  • ►  2016 (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
Diberdayakan oleh Blogger.
  • Beranda

Popular Posts

  • Rekomendasi Channel Youtube untuk Pengembangan Diri
  • Pengalaman Waktu Pertamakali Masuk SMP
  • Jadi, bahagia itu apa?
  • Tiga Manusia; Empat bersama; Bersahabat

Labels

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Template