Dunia Ning Arum

Enjoy how my life and the lives of others

  • Home
  • About Me
  • Social
  • Features
    • Lifestyle
    • Sports Group
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Contact Us

 Kenalkan namaku Eilen, tapi teman-temanku sering membaliknya, menjadi Nelie. Bel istirahat baru saja berbunyi, bahkan guru fisikaku belum meninggalkan kelas, Beliau masih membereskan barang-barangnya. Begitupun teman-temanku, mereka juga sedang memebereskan barang-barang di dalam meja, lalu mengeluarkan kotak makan yang sudah mereka bawa dari rumah.

“Saya pergi dulu ya. Assalamualaikum,” pamit guru fisikaku sambil menjenjeng tas dan melangkah meninggalkan kelas.

Aku menoleh ke kiri, teman sebangkuku sudah pergi duduk di bangku lain. Sendiri lagi. Lalu aku beranjak mendekat ke mereka yang sedang menyantap makanannya. Sejak di tahun kedua sekolah menengah atas aku tak lagi membawa bekal, karena rasanya tak seperti dulu ketika kelas sepuluh. Asing, sangat asing, membuatku merasa aneh.

Aku menatap mereka yang saling melontarkan candaan, sesekali bertukar makanan. Mereka riuh dan aku tak tau harus berbuat apa, itu sebabnya aku selalu diam. Aku memilih untuk tetap tersenyum, sesekali tertawa keras seperti apa yang mereka lakukan. Sejujurnya, di detik itu juga aku ingin menangis. Rasanya, aku tetap merasakan sendiri, mereka ada di depanku, mereka nyata. Tapi, perasaanku hilang perlahan, menjadi kefanaan yang selalu menyakitkan.

Aku selalu merasa canggung bahkan ketika aku sudah mengenal mereka berbulan-bulan. Namun, lagi-lagi rasanya sangat aneh, masih tetap merasa sendiri.

“Eh, foto yuk.”

Semua berdiri, mengangkat ponsel, bergaya, bersiap untuk mengambil foto. Sedangkan aku, aku memilih untuk melangkan mundur. Memperhatikan, dan membiarkan mereka berfoto sebanyak mungkin. Aku tak suka berfoto, aku tak bisa bergaya di depan banyak orang, aku tak suka melakukan apa yang mereka suka. Tentu, ini salah satu alasan kenapa aku merasa asing. Dunia kita berbeda.

Aku duduk kembali di kursi. Memperhatikan mereka yang berfoto dengan gaya bebas, seperti tak ada pikiran yang mengganjal ketika menatap wajah masing-masing. Sendiri lagi. Tak di rumah, di sekolah, selalu sendiri. Aku tersenyum melihat mereka, aku ingin seperti itu. Aku ingin berfoto, tertawa, bercanda sebebas itu. Mereka masih bisa melakukannya walau aku tau hidup mereka tak sebahagia itu.

Oke. Bel pulang sudah berbunyi, aku melangkan menuju tempat parkir, mencari keberadaan motorku. Meninggalkan sekolah, satu beban mulai runtuh. Batinku selalu berteriak, “Cepat sampai rumah! Cepat sampai rumah! Lalu istirahatlah.” Yah, walau aku tau bahkan di rumah pun aku akan sendiri, aku tak memiliki teman. Karena ego.

Tak ada yang bisa menjadi temanku, itu kenyataan. Orang-orang mungkin tak akan bisa membuatku bertahan di sisi mereka, dan aku yang jelas akan memilih mundur jika sudah merasa tak nyaman. Jangan tanyakan mengapa aku menjadi seperti ini, karena aku benar-benar tidak tau. Tiba-tiba segalanya berubah, menjadi asing, menjadi aneh, dan menjadi menyedihkan.

Mungkin, jika seseorang sudah sedat denganku sejak dulu dan aku menceritakan apa yang terjadi sekarang, mereka tidak akan percaya. Seperti malam itu, percakapanku dengan Kakak.

“Mbak itu orangnya nggak bisa kayak kamu, tertawa sama temen, bercanda sama temen. Mbak bercanda itu Cuma sama kamu,” begitu katanya sambil menggangguku yang sedang tiduran di kamar.

“Aku pendiam kok.”

“Nggak mungkin.”

Aku hanya tersenyum ketika Mbak berbicara seperti itu. Tak ada yang benar-benar mengetahuiku, bahkan Mbak. Tidak ada yang tau bagaimana perasaanku yang sebenarnya, tak ada yang tau rasa sepi yang selalu kurasakan. Aku memang tertawa keras, tapi semua itu tak berguna, karena dengan akhirnya aku akan menangis di rumah.


Malam itu aku di rumah sendiri. Ayah dan Ibu sedang menghibur diri. Kakak laki-lakiku juga sedang pergi, mencari kebahagiaan yang tak ia temukan di sini. Sedangkan kakak Perempuanku tak ada di rumah, ia tinggal di Surabaya, dan pulang besok lusa.

Seperti itulah hari-hariku di setiap malam. Sendiri, sepi, dan sunyi. Ah, mereka selayaknya temanku, iya, sepi, sunyi, dan sendiri adalah temanku. Oh, ditambah novel-novel Kakak perempuanku yang biasanya ku baca saat merasa bosan. Mungkin bisa di bilang, sebuah benda di dalam rumah adalah temanku ketika manusia tak ada bersamaku.

Malam itu aku berbicara pada salah satu teman yang menemaniku kemana pun aku pergi, bukan tempat tadi, namanya pikiran.

“Aku datang.”
Lepas senyummu, dan menangislah di pelukanku.

“Aku tak sedang ingin menangis.”
Kenapa?

“Karena cerita hari ini cukup indah.”
Bukan cerita temanmu, kan?

“Cerita mereka. Hari ini mereka bercerita dengan bahagia. Kau tau, kisah cinta mereka begitu indah, hingga membuatku tersenyum mendengarnya. Ditambah kisah-kisah bersama temannya yang sangat baik.”
Telinga dan Hati mu juga punya rasa lelah

“Berisik, diam saja kau.”
Aku tak bisa diam

“Kenapa?”
Karena aku ceritamu yang tak pernah kau selesaikan

“Kau tau, mereka tak pernah peduli denganmu. Lagian, sudah aku saja yang merasakan. Aku tak ingin mereka merasakan sakit yang kusara.”
Mereka yang tak peduli dengan ku atau kau yang tak mau memberi tahu?

“Untuk apa kau lakukan ini? Sudahlah, tak ada yang mau mendengar. Sekali ada, mereka hanya ingin tau, tanpa peduli.”
Ya sudah, tenggelamkan saja aku dihidupmu tanpa ada titik yang mengakhiri

Itulah kita, setiap malam selalu bertengkar. Memang, pikiranku tak pernah sejalan dengan hati.

Setiap malam pikiranku selalu membuatku marah. Dia tak pernah mengerti bahwa aku sudah lelah di sakiti. Aku sudah lelah diberi buangan muka. Aku sudah lelah dengan segala rekayasa. Aku pulang hanya untuk mencari tenang, tapi dia merusak semuanya. Dia malah membuat tenangku menjadi riuh kepala yang tak pernah berhenti. Seharusnya dia tau aku ingin mengakhiri tanpa perlu diungkit kembali. Ah, dasar pikiran lemah!

Dan sekarang, pikiranku malah berlari tak karuan. Membuatku pusing ingin berteriak hingga lepas segala beban kepala. Tentu saja, hujan berserta petir ganas itu mulai menghantam. Sakit sekali ketika aku mendengar suara petir ganas yang mengusik.

Sudah kubilang, jangan menyembunyikan aku!
“Sudah kubilang juga, berhenti meraung untuk hal yang tak tentu. Dan hanya menyakiti.”

Siapa bilang itu menyakiti? Kau tak tahu rasanya
“Karena aku tahu, aku diam tak berkata apapun.”

Bodoh. Dasar bodoh. Kau terlalu takut terabaikan, tapi kau malah membunuh dirimu perlahan
“Bajingan! Diam kau pikiran lemah yang tak pernah memiliki perasaan.”

Segera aku pergi dari dunia ini, berganti pada alam mimpi yang selalu membantuku istirahat walau tak benar-benar istirahat.


Mungkin semesta sedang menertawakanku sekarang. Mungkin saja mereka juga bingung denganku. Mereka bingung apa yang sedang aku lakukan sekarang, atau mereka menertawakanku karena aku ini aneh, aneh sekali. Mana mungkin ada manusia yang berharap mengulang waktu hanya pada satu titik. Kamu tau waktu apa itu? Itu adalah waktu dimana kamu berbicara padaku. Saat dulu, aku duduk di kursi, kamu duduk di atas meja sambil bercerita, aku hanya seorang pendengar yang didalam hati selalu berkata, “Ciptaanmu begitu indah, Tuhan.”

Oh, ya, ada juga momen-momen yang aku rindukan saat bersamamu, yaitu saat kamu berkata, “Dia itu saudara gue.” Kalau diingat, lucu sekali ekspresimu saat itu. Kamu selalu marah ketika mereka tidak percaya bahwa aku saudaramu, mereka selalu bertanya padaku tentang kebenaran itu, dan aku hanya bisa menjawab, “Nggak tau.” Lalu, setelah kamu dengan jawabanku, kamu pasti marah dan bilang, “Serius, tanya aja sama bokap lo.”

Ah, andai aku bisa mengulang momen-momen itu, yang akan aku ubah adalah,

1.       Aku akan percaya bahwa kamu saudaraku
2.       Aku akan selalu mau membantumu
3.       Ketika kamu ingin berkomunikasi denganku, aku akan selalu menjawab
4.       Aku tidak akan membiarkan hatiku jatuh cinta padamu.

Dan, keinginan nomor empat yang paling ingin aku ubah. Ketika aku sadar bahwa aku mencintaimu, saat itu pula aku selalu ingin memutar waktu. Aku ingin kembali ke masa di mana sosokmu adalah hal biasa bagiku. Kehadiranmu bukanlah yang kutunggu, karena kita akan selalu bertemu. Namun, sayang sekali, kita hidup hanya sekali, tidak bisa membuat waktu agar kembali. Yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah waktu di mana aku bisa melihatmu, aku bisa melihat bahwa kamu sedang baik-baik saja.

Apa kamu sekarang sedang jatuh cinta? Atau sebenarnya di dalam hatimu masih ada sosok dia? Sekarang, yang aku inginkan adalah kamu cerita tentang seseorang yang sedang mengisi hatimu, seseorang yang selalu memenuhi pikiranmu. Dulu, kamu tiba-tiba mengunggah fotomu bersama dia-mantanmu- saat itu aku pikir kalian menjalin kasih kembali, itu sebabnya aku bertanya, “Balikan?” Tak butuh waktu lama untuk mendapat balasan pesan darimu. “Enggak,” katamu. Syukur, batinku saat itu. Lalu aku kembali bertanya, “Terus ngapain buat status sama mantan?” Kamu menjawab, “Gue dikejar-kejar cabe-cabean.” Ingin tertawa ketika membaca itu. “Jadi dipost biar nggak diganggu cabe-cabean?” balasku. “Enggak juga, sih,” jawabmu.

Aku tidak bisa lagi menulis semua tentangmu. Terlalu banyak hal yang begitu membekas di hatiku. Kehadiranmu selalu saja aku tunggu, entah mengapa. Jika waktu benar-benar bisa terulang, aku tidak akan membiarkan momen-momen yang seharusnya indah malah aku hancurkan karena ego, aku akan memanfaatkan waktu itu sebaik mungkin. Sekarang aku menyesal, mengapa aku dulu seperti itu kepadamu? Mengapa aku selalu mementingkan egoku. Aku membenci ini, sangat benci, karena ketika aku ingat hal-hal yang dulu, penyesalan selalu memburu.

Sekarang, setiap aku berpapasan denganmu, aku selalu ingin menyapamu, aku ingin berbincang denganmu, tapi aku nggak bisa. Karena akan terasa aneh jika tiba-tiba aku menyapamu. Sudahlah, biarkan saja rasa ini menghilang, aku akan merelakan.


Jatuh Cinta

Aku memiliki mimpi menjadi seorang penulis. Mimpi itu muncul ketika aku kelas dua smp, ketika masalah sedang mendatangi hari-hariku, ketika aku tak tau harus percaya kepada siapa. Aku sudah menulis dari kelas lima SD, tapi berhenti karena pikiranku masih tak mampu untuk menuliskan hal-hal yang banyak. Lalu, berlanjut ketika aku kelas satu SMP, ketika itu aku menulis di blog ini-pengalaman pertama kali masuk smp, study tour. Aku lebih sering membuat puisi dan menulis buku harian kala itu, aku jatuh cinta. Iya, aku menyukai seseorang, tapi aku tidak bisa berkata, aku hanya bisa memendam.

Jika aku tak pernah jatuh cinta, mungkin aku tak akan pernah menulis cerita-cerita wattpad itu. Aku menyukainya, karena tidak mungkin aku mengungkapkan padanya, aku memilih menuliskan dia di kertas-kertas buku harian. Aku sembunyikan dia dibalik nama yang bukan dia, aku membuat segalanya seperti dia hanya temanku, aku tidak punya perasaan untuknya. Tentu itu cukup sulit bagiku, tapi semua berhasil, tiga tahun itu terpendam tanpa ada satu orangpun yang tau. Hingga akhirnya sekarang semua terbongkar, sahabatku yang dulu juga mencintai dia, sudah tau. Hampir seluruh temanku tau, hanya dia yang tidak tau.

Pengecut memang, aku hanya berani menuliskan dia di dalam tokoh-tokoh yang tak nyata, aku hanya berani mengakui perasaanku pada puisi, dan cerita yang tak nyata. Jalan ini memang buntu, karena dia tak akan tau, tapi jalan lebih baik daripada aku harus mengungkapkan dan akhirnya kehilangan. Ketika aku merasa senang dengan kehadirannya, aku selalu menulis puisi atau membuat cerita baru tentang dia, itu yang aku lakukan agar semua kenangan dan kejadian memiliki memori, arti, dan kegunaan sendiri. Aku tak ingin membuang kenangan itu dengan sia-sia, jika bisa dijadikan sebuah karya, kenapa harus dibuang?

Aku selalu membayangkan, ketika suatu saat nanti dia tau bahwa karakternya ada di dalam tokoh-tokoh cerita yang aku tulis, dia akan tersenyum. Tapi itu hanya sebuah bayanganku, aku tidak tau apa yang benar-benar terjadi.

Oh iya, dia itu temanku. Aku setiap hari bertemu dengannya, berbicara, bergurau, atau apapun itu dengannya. Kejadian-kejadian sejak empat tahun yang lalu selalu aku kenang, jika saja waktu bisa diputar, aku ingin memutarnya, dan mengulangi momen-momen bahagia itu terus-menerus hingga bosan. Aku merindukan momen itu, karena sekarang momen itu tak pernah terjadi. Bahkan, untuk bertemu dengannya saja aku harus mencari-cari kesempatan.

Sekarang, aku satu sekolah dengannya. Dari kelas satu SMA, aku selalu mencari cara agar bisa melihat dia, seperti waktu upacara, ketika ke kamar mandi, atau saat pulang sekolah. Sulit sekali untuk melihat wajahnya, dan terkadang aku juga merindukan suaranya. Tak ada yang bisa aku lakukan ketika merindukannya selain menulis, selain mendoakannya, selain menjadikannya puisi-puisi malamku.

Semoga saja, dia membaca semua tulisanku. Aku ingin dia tau tentang perasaanku suatu saat nanti, aku ingin dia tau bahwa senyumnya bisa membuahkan sebuah karya.  Aku ingin dia tau, bahwa jatuh cinta kepadanya bukanlah hal buruk, walau cinta ini tak terbalas. Nyatanya, karena cinta itu aku mampu menulis puluhan puisi, merangkai puluhan kata.


-Alicia, untuk dia.

Aku dan Kamu adalah dua orang asing tapi saling mengenal. Aku sekarang hanya berharap kamu datang ke acara ulang tahunku, hanya datang, itu sudah cukup menjadi kado terindah bagiku. Saat ini aku hanya tinggal menunggu jawabanmu di grup tentang acara ini. Ah, kamu terlalu lama mengetik membuat perasaanku tak tenang, aku hanya takut jawabanmu tak sesuai keinginanku. Ternyata, kamu menjawab “oke” jawaban yang aku inginkan.

 Kamu datang, menggunakan kemeja-yang pernah kamu pakai saat ke rumahku dulu, yang dibalut dengan jaket jeans, helm berwarna merah hati, dan motor scoopy barumu itu. Lega rasanya, dan begitu senang akhirnya aku bisa bertemu denganmu, walau setiap hari kita bertemu. Ini cukup, sangat cukup. Kamu tau, aku tak pernah merasa jatuh hati yang benar-benar tulus sebelum ini, dan sekarang aku merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang di TV itu. Perasaan bahagia beserta gugup yang tak karuan. Kamu bertanya sandi WI-FI dan ku jawab dengan biasa saja, itu bohong, sejujurnya aku gugup, aku tak kuasa saat kamu menatapku. Setelah berbulan-bulan aku tak pernah bisa mendengar suaramu yang sedang berbicara padaku. Aku juga bahagia, ternyata kamu masih ingat dengan jalan rumahku, yang mungkin hampir satu tahun tak pernah kau kunjungi lagi. Aku tak berharap lebih dari ini, karena dengan melihatmu ada di rumahku saja sudah membuatku bahagia. Sangat bahagia.

Tanpa kamu sadari, aku selalu memperhatikanmu, dari jauh, kamu tidak akan mengetahui itu. Mengagumimu dari jauh seperti biasanya itu bisa membuatku semangat berangkat sekolah. Hahaha, mungkin jika kamu membaca ini dan tau siapa aku. Kamu akan semakin menghilang dari hidupku, jika saat ini saja kamu hampir menghilang, apalagi saat kamu tau. Hari ini kamu menganggapku ada, dan besok, aku kembali hilang di matamu. Terkadang aku merasa bahwa aku manusia bodoh karna cinta. Aku diam, saat aku tau kamu hanya memanfaatkan aku. Aku tak marah, karena aku memang tak bisa marah. Ah, bagaimana yah caranya menjelaskan bagaimana perasaanku saat mengingat yang dulu. Bisa dikatakan sakit, tapi sakit itu tidak bisa membuatku menangis.

Kamu tau, senyum yang ada di wajahmu itu yang bisa menghilangkan rasa lelahku saat mencintaimu dalam diam. Kamu tadi tersenyum, dan terlihat begitu tampan. Kali ini aku kembali berharap, aku berharap kamu menganggapku ada, besok dan seterusnya. Jika ada hal yang bisa membuatku terlihat olehmu, aku akan melakukan itu. Iya, aku akan nekat. Jangan tanya kenapa, karena jawabannya sudah jelas lelah. Tadi saja rasanya aku ingin menangis, ingin marah, saat kamu yah, kamu, yang selalu tak menganggapku ada. Ah, iya, satu yang sudah berubah dari kebiasaanmu. Jika dulu kamu adalah orang yang suka berfoto, sekarang tidak, tadi kamu bilang “Gue nggak suka foto” bukan apa-apa sih, hanya saja aku ingin tau alasannya. Aku ingin tau segalanya tentang kamu, apapun itu, aku ingin. Dan satu lagi, aku merasa bahwa kita ini sedang menjalankan LDR loh, tapi LDR yang lebih menyakitkan. Tadi aku baca kutipan di Instagram yang bertuliskan

LDR paling jauh adalah saat dua orang saling mengenal berpapasan, namun tak saling menyapa

 Bukankah itu yang sedang kita alami? Tiga tahun kita satu kelas, setiap hari bertemu, dan sekarang? Untuk menyapa pun tak mampu. Aku tau, saat kamu bertemu denganku kamu tau aku ada, tapi kenapa kamu enggan untuk menyapa? Ah, ini membuatku kesal. Padahal harapanku adalah kita masih sama seperti dulu, saling tersenyum saat bertemu, kamu yang selalu bertanya sesuatu padaku. Aku ingin semua kembali seperti dulu. Kumohon, sekali saja, anggap aku ada, walau hanya sekedar teman bahkan sekedar saudara. Aku ingin.

Jika dulu setiap hari kamu pasti menghubungiku hanya untuk menanyakan tugas, setiap hari kamu berbicara kepadaku bercerita tentang mantanmu atau tentang gebertan barumu. Aku ingin mendengar kalimat-kalimat itu lagi dari mulutmu, kalimat yang sebenarnya menyakitkan tapi menjadi begitu membahagiakan saat kamu yang bercerita dengan ekspresi wajahmu yang selalu membuatku ingin tertawa. Lagi-lagi semua kenangan itu tak pernah bisa kulupakan, dan aku selalu ingin kenangan itu terulang. Aku hanya ingin bertemu denganmu lalu berbicara seperti dulu.



Mengapa aku bisa mencintaimu?

Pertanyaan itu selalu ada dipikiranku ketika aku mengingatmu. Mengapa?  Kadang aku berpikir dari mana rasa ini sebenarnya muncul, dari aku atau semesta. Setiap kali aku membuka pintu rumah hendak pergi ke sekolah, aku akan berpikir, “Apa hari ini aku akan bertemu denganmu?” Sulit memang untuk mengetahui jawaban-jawaban dari pertanyaanku, karena memang pertanyaan itu tak pernah memiliki jawaban.

“Kenapa aku bisa suka kamu?”

“Kenapa aku mengharapkanmu?”

“Kenapa nangis karenamu? Padahal kamu nggak salah, kamu nggak tau apa-apa.”

Kalau dipikir-pikir semuanya ini aneh, aneh untukku. Aku selalu percaya dengan kalimat yang pernah keluar dari mulutmu, aku selalu percaya dengan hal bahwa dia tak akan memiliki kekasih teman kelasmu sendiri, entah ini karena aku yang terlalu takut menerima kenyataan, atau memang itu kenyataan. Selalu berpikir positif tentangmu adalah hal yang sulit untukku sendiri, sangat sulit, karena itu semuanya hanya untuk kebahagiaan semataku saja, kebahagiaan yang akan hilang ketika aku kembali sadar bahwa aku sedang berkhayal.

Ada saatnya ketika aku sangat ingin bertemu denganmu, atau aku sangat merindukanmu, aku merasa aneh lagi karena kita satu sekolah kelasmu juga di sebelah kelasku, sebenarnya sangat mudah sekali jika ingin bertemu, aku nggak bisa. Atau terkadang, kamu sudah di depan mataku, aku malah nggak suka, aku ingin cepat-cepat pergi dari tempat itu, karena aku malu. Malu tanpa alasan. Aku nggak bisa melihat wajahmu karena aku malu. Kadang aku kesal sama diri sendiri, bagaimana bisa aku menjadi seperti ini.

Dulu aku pikir perasaan ini adalah perasaan yang akan hilang seiring waktu, itu sebabnya aku tidak peduli. Aku membiarkannya, tapi ternyata salah. Hingga saat ini, aku masih tetap memiliki perasaan itu, dan semakin lama perasaan itu semakin menyakitkan, semakin menyusahkan, semakin membuatku risih. Tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa, semakin mencoba melupakan, semakin ingin aku memilikimu.

Setiap hari aku hanya ingin mendapat kabar tentangmu, entah kabar membahagiakan, atau menyedihkan seperti hari ini. Hahaha, aku bisa bahagia karena kabar menyedihkan itu, karena aku bisa menulis banyak puisi, aku bisa menulis berbagai cerita diluar nalar. Aku bisa membuat hal yang akan membuatku bahagia walau hanya sekedar imajinasi, sekedar ilusi yang tak akan pernah menjadi nyata. It’s ok, karena aku ingin perasaan ini berguna untuk hidupku, aku ingin perasaan yang aku pendam bertahun-tahun ini bisa memberikan karya. Aku ingin perasaan menyakitkan ini tak sekedar menyakiti, namun juga penyembuh.  




Ketika kita sedih, jangan pernah berharap seorang teman akan datang dan menggenggam tanganmu, karena jika itu tak terjadi maka kecewa akan menghampirimu dan membuat kesedihan itu semakin menjadi-jadi. Kita hidup tidak bisa selalu tergantung dengan teman, sedih dikit panggil teman, kalau temanmu nggak ada saat kamu butuh, kamu maki-maki dia. Seharusnya kamu tau, manusia punya kesibukan masing-masing, mungkin temanmu memang sedang sibuk. Tak apa, ketika kamu sedih dan temanmu tak ada, kamu tak akan mati.

Sekarang, coba pikirkan, sebanyak apapun temanmu berkata untuk menenangkan, atau untuk menguatkan kamu, tapi kamu sendiri tak percaya bahwa kamu bisa, mana mungkin ada perubahan? Sebelum berbicara pada temanmu, coba bicara pada dirimu sendiri. Siapkah kamu melepas kesedihan? Percayakah dirimu bahwa kamu bisa melepas kesedihan itu? Semua tergantung dirimu, jadi utamakan dirimu. Buat dirimu percaya bahwa kamu bisa melewati segalanya.

Jangan sedih berlarut-larut dengan melihat story-story temanmu yang kelihatannya hidup mereka jauh lebih bahagia dari hidupmu. Letakkan saja ponselmu, bangkit dari tempat tidurmu, usap air matamu, mendekatlah ke cermin, tatap manusia dicermin itu, lalu senyum dan katakan, “Kamu bisa melewati segalanya. Kamu bisa melepas kesedihan. Tak apa ini hanya sebuah rencana Tuhan agar kamu menjadi manusia kuat. Semangat!”

Yah, tentu aku sering mencoba itu. Setiap kali aku melihat nilai ulanganku yang begitu jelek, jelas aku selalu menangis ketika sampai rumah, menangis seharian, sendiri di dalam kamar. Aku cukup takut untuk cerita ke teman, bukan hanya karena gengsi, tapi karena mereka mungkin tak bisa jadi solusi. Aku selalu memilih untuk membaca novel, agar pikiranku teralihkan, sampai akhirnya ketika aku benar-benar tak bisa menahan segalanya. Aku bangkit, dan berkata pada manusia didalam cermin. Aku berkata apapun untuk menguatkanku, apapun itu. Mungkin kalian tau sebuah kalimat dari Charlie Chaplin, yaitu ‘Miror is my best friend, because when i cry it never laughs.’ Betul, bukan? Cermin adalah caraku untuk berbicara pada diriku sendiri.

Jadi, sekali-kali kamu boleh bercerita bada teman, agar hidup tidak terlalu menyesakkan. Tapi jangan paksa mereka ketika mereka tak punya waktu untukmu. Mereka punya kehidupan sendiri, mungkin saja temanmu itu juga sedang ada masalah. Apa kamu mau menjadi tambahan beban untuknya? Sebelum bercerita ke teman, coba tanyakan dulu, “Situasi hari ini bagaimana? Lancarkah?” bahkan ketika kamu tanya begitu, temanmu juga bisa saja berbohong untuk menutupi masalah. Tanyakan lagi, “Apa sedang ada masalah?” 

Sebelum kamu ingin diperhatikan oleh orang lain, coba perhatikan orang itu dulu. Karena orang yang terlihat tentram, terlihat bahagia, biasanya adalah orang yang sedang menutupi luka hidupnya.

Sebelum mencari teman yang baik cobalah menjadi teman yang baik. Semuanya harus dimulai dari dirimu sendiri, maka perubahan akan terjadi. Tapi ketika kamu melewatkan dirimu, maka langkah-langkah berikutnya bisa jadi beban untukmu. Istirahatlah sebentar kalau kamu memang sudah lelah, lancarkanlah nafasmu. Kamu harus hidup dengan kebahagiaan, jangan hidup untuk mencari kebahagiaan. Kamu kuat akan segala hal. Sekali lagi, percayalah pada dirimu bahwa kamu bisa. Jangan menangis, tetaplah tersenyum, karena bagaimana kamu bisa tersenyum ketika airmata jatuh membasahi pipimu. Senyumlah maka airmata itu akan berhenti.

Semangat! Percayalah bahwa Tuhan memberikan kita cobaan sesuai dengan porsi masing-masing. Tuhan memberimu cobaan, karena Tuhan tau kamu mampu melewatinya, dan kamu akan menjadi manusia yang lebih kuat setelahnya. Tersenyumlah untuk dirimu dulu, lalu untuk orang lain. Tenangkan dirimu dulu, baru orang lain. Mulailah dari dirimu dahulu.



            Raja berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Sudah hampir satu bulan ia tak datang ke rumah sakit, karena sibuk dengan pekerjaannya yang menjadi seorang penjual Kebab. Leo tidak mengalami kebangkrutan atau apapun itu, tapi Raja hanya ingin mencoba mencari uangsendiri, dengan cara menjadi penjual kebab. Dia hanya ingin hidup lebih realistis.

            Ia berhenti di depan ruangan VIP mawar, diam sejenak, lalu membuka pintu putih itu dengan perlahan, “Assalamualaikum,” Ia berjalan mendekat ke seorang gadis yang sedang memejamkan mata dengan alat-alat medis yang menempel di tubuhnya.

            Gadis itu adalah Gadis yang bisa membuat Raja tertawa dengan begitu keras. Dia adalah cinta pertama Raja. Sosok Gadis yang kedatangannya selalu dinanti oleh laki-laki tampan itu. Namun, sudah hampir satu tahun Raja tidak bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Sosok yang dicintainya sekarang sedang diam membisu, tak bergerak, tak ada suara yang keluar dari mulutnya, hanya ada suara nafas yang semakinhari semakin menghilang. 

             “Ris, apa kabar?” Raja meraih tangan gadis itu, menggenggamnya dengan begitu erat. “Saya kangen sama kamu. Tolong buka mata kamu, lihat saya yang selalu menanti kamu.”

            Tak ada jawaban. Itu lah yang selalu dilakukan Raja setiap datang ke sini. Berbicara sendiri tanpa ada jawaban dari setiap pertanyaannya. Tapi, Raja bukan laki-laki yang mudah menyerah, dia selalu berusaha berbicara pada Risma, dia percaya bahwa Risma bisa mendengar ucapannya, walau mata nya sedang tertutup.

            Risma mengalami kecelakaan ketika perjalanan pergi ke tempat latihan balet. Malam itu, dia pergi bersama Raja, dan mobil mereka ditabrak oleh truk gandeng. Raja hanya mendapat luka yang tak cukup parah, sehingga dia hanya dirawat di rumah sakit beberapa hari, sedangkan Risma, kepalanya terbentur dashboard dengan keras, dan terkena serpihan pecahan kaca.

            “Ris, sekarang saya jualan kebab. Saya Cuma pengen nggak ngerepotin Ayah sama Ibu. Kamu nggak mau bangun terus coba kebab buatan saya?”

            Raja terus berbicara, ia menceritakan semua yang terjadi di sekolah, dia rumah, dimana pun tempat yang pernah dia kunjungi. Sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul delapan malam, sudah waktunya untuk pulang.

            “Saya pulang dulu. Assalamullaikum,” Raja mencium kening Risma, lalu pergi dari tempat yang selalu membuat Raja merasa dunianya menghilang, kebahagiaannya tak ada.

***

            “Sat, Si Raja belum pulang?” tanya Pangeran pada Ksatria yang sedang bermain ponsel.

            Mereka sedang berada di rumah Ratu, karena Ratu bilang ia sedang tak ingin keluar rumah. Itu sebabnya mereka memutuskan untuk berkumpul di rumah gadis itu. Apapun yang diinginkan oleh gadis itu, mereka akan mengabulkannya.

            “Belum kayaknya,” jawab Ksatria. “Emang kenapa?”

            “Enggak.”

            Ksatria melangkah mendekat ke Pangeran, lalu duduk di samping laki-laki berkulit putih itu. “Lupain Risma, Ran. Biarin dia sama Raja,” ucap Ksatria.

             Pangeran dan Raja memang menyukai perempuan yang sama, memang yang menyukai, mengenal Risa duluan adalah Raja. Setelah Raja memperkenalkan Risma pada tiga temannya itu, Pangeran mulai menyukai Risma. Bahkan hingga sekarang Raja belum mengetahui bahwa seseorang yang dicintainya itu juga dicintai sahabatnya sendiri.

            “Nggak bisa, Sat. Gue tau Raja sahabat gue, tapi alasan itu nggak bisa ngebuat gue untuk berhenti suka sama Risma.”

            “Terus mau lo gimana? Lo mau terus-terusan kayak gini?”

            “Udahlah, Sat. Lo tenang aja gue bukan anak yang bisa dikendali sama cinta,” kata Pangeran sambil tersenyum.

            Ksatria adalah anak yang paling khawatir tentang ketiga sahabatnya ini. Dia selalu mencoba untuk ada, untuk bisa, bersama mereka ketika mereka membutuhkan. Laki-laki bergigi gingsul ini begitu perhatian, apalagi tentang Risma. Dia begitu takut jika Raja tahu bahwa Pangeran menyukai Risma, dan Raja melakukan hal yang tidak-tidak, karena Raja akan berubah menjadi laki-laki yang begitu sensitif jika berhubungan dengan gadis itu.

            “Assalamualalikum.”

            Pangeran dan Ksatria menoleh, melihat Raja yang berjalan dengan kedua tangannya yang membawa dua kantong plastik berwarna putih. Laki-laki itu masih menggunakan seragam putih abu-abunya. Dia menaruh kedua kantong plastik itu, lalu duduk di samping Pangeran. Terlihat sekali bahwa Raja capek, wajahnya begitu lesu, kusam, dan bibirnya pucat.

            “Lo belum pulang sama sekali?” tanya Pangeran.

            Raja menggelengkan kepala, lalu bangkit dari tempat duduknya. “Gue mandi dulu,” katanya.

            “Tuh anak kenapa?” Ksatria bergumam, lalu membuka kantong plastik itu yang ternyata berisi, makanan ringan semua.

            “Pangeran!” teriak Ratu dari dalam kamarnya.

            Pangeran membulatkan bola matanya, jika Ratu sudah berteriak di jam delapan, itu artinya Ratu terkunci di dalam kamar. Itulah kebiasaan Ratu, mengunci pintu dan kuncinya hilang. Mungkin, dalam satu bulan Firza harus mengganti kunci kamar Ratu sepuluh kali. Gadis itu memang pelupa, dari kecil ia selalu kehilangan anting yang dibelikan oleh Firza, hingga akhirnya Firza tidak mau membelikan barang berharga untuk Ratu.

            “Minggir!” teriak Pangeran dari luar kamar, dia bersiap-siap untuk mendobrak pintu itu.

            Setelah Pangeran mendobrak, pintu terbuka, memperlihatkan gadis berkulit putih yang menggunakan baju tidur berwarna hitam. Ratu tersenyum lebar, dia selalu tersenyum saat melihat wajah Pangeran yang seperti akan mengeledak. Wajahnya memerah, rahangnya mengeras, dan matanya membulat, itu adalah tontonan yang sangat lucu bagi Ratu.

            “Terimakasih, Pangeran,” ucap Ratu. “Raja udah datang atau belum?”

            “Udah, dia lagi mandi,” jawab Pangeran. “Ra, jangan tutup pintu lagi ya. Gue kasihan sama Om Firza, uangnya habis cuma buat beli kunci pintu kamar lo doang.”

            “Nanti kalau gue ganti baju, terus ada yang ngintip gimana? Gue nggak mau ya.”

            “Lagian siapa sih yang mau ngintip? Di rumah ini cuma ada Lo, Om Firza, Tante Salma, Gue, Raja, sama Ksatria doang. Terus siapa yang mau ngintip lo?”

            “Pangeran.”

            “Astagfirullah. Sebejat-bejatnya gue, nggak akan kali gue kayak gitu ke lo.”

            “Udah ah, intinya Ratu nggak mau kalau kamarnya nggak ditutup.”

            Pangeran menghela nafas pasrah, gadis ini sangat keras kepala.

            “Ja, keadaan Risma gimana?” tanya Pangeran, walaupun laki-laki itu sudah tau bagaimana keadaan Risma, karena kemarin dia sudah berkunjung.

            “Masih sama,” jawab Raja lalu membuka novelnya.

            “Ja, semangat ya,” ucap Ratu sambil tersenyum begitu lebar.

            Raja mengangguk dan tersenyum. Iya, setiap saat ketika Raja pulang dari rumah sakit, Raja selalu berkata seperti itu. Raja tidak tau kenapa gadis itu selalu menyemangati dirinya.

            “Oh iya, tadi waktu Ratu mau ke toilet tiba-tiba ada cowok yang nggak Ratu kenal, dia ngelamar Ratu. Katanya, kalau Ratu nolak dia, Ratu bakalan dibunuh.” Ratu mengambil jeda sejenak. “Susah ya, jadi cewek cantik, banyak banget yang pengen jadi pacar Ratu.”

            “Muka kayak tutup panci aja kebanyakan gaya lo,” cibir Pangeran.

            “Lo kenapa sih? Dari dulu ngatain gue terus, nggak usah gengsi gitu. Gue tau kok lo itu iri sama wajah cantik gue, sedangkan wajah lo kalah ganteng sama wajahnya Raja dan Ksatria.”

            “Cih, wajah lo itu emang kayak tutup panci. Dan cowok yang pengen jadi pacar lo itu matanya mungkin lagi sakit.”

            “Heh, cewek-cewek yang ngasih lo makanan itu cuma kasihan sama lo karena wajah lo paling jelek diantara lo, Ksatria sama Pangeran.”

            “Heh, udah. Lo berdua mau berantem terus sampai kapan,” Ksatria bicara dengan nada sedikit tinggi. “Capek tau nggak.”

            “Bang Sat!” teriak anak laki-laki dari pintu.

            Ksatria menoleh. “Bocah! Gue bilang jangan panggil gue Bang Sat.”

            Anak laki-laki itu mengulurkan lidahnya keluar, “Nggak peduli, Bang Sat.” Anak itu berjalan ke arah Pangeran. “Bang Ran, mabar yuk.”

            “Ogah, males gue. Lagian, lo bocah esde pulang jam segini. Gede lo mau jadi apa?”

            “Jadi Reno dong.”

            “Udah masuk sana,” ucap Ratu.

            Reno adalah adik Ratu yang masih kelas empat, anak laki-laki itu sangat nakal. Jika Ratu sering menghilangkan barang berharga, Reno sering kehilangan tas sekolah. Laki-laki kecil itu setiap pulang sekolah tidak langsung pulang, melainkan main entah kemana dan lupa membawa tas sekolahnya pulang. Sampai akhirnya, Firza memutuskan untuk menaruh semua buku di sekolah, dan membeli buku lagi untuk belajar di rumah. Firza pun bingung, kedua anaknya ini seperti siapa.

***

            Ratu berjalan di gang kecil, gang agar cepat sampai ke tempat pangkalan angkot. Gang itu benar-benar sepi, kadang ramai saat ada orang yang lagi ngelabrak. Hari ini, Raja sedang pergi ke rumah sakit, Pangeran ada latihan futsal, sedangkan Ksatria dia harus hadir di acara bakti sosial, itu sebabnya sekarang Ratu harus pulang sendiri. Jika ketika temannya itu tau bahwa gadis ini naik angkot, mereka pasti marah.

            Ratu berhenti ketika dari jauh dia melihat tiga perempuan yang memakai rok begitu ketat sedang marah ke satu perempuan. Ratu mengenali mereka, tiga perempuan itu dari sekolah lain, sedangkan yang satu, dia teman sekolah dasar Ratu. Namanya Nina. Ratu berjalan melewati mereka, gadis ini hanya meliriknya saja, tanpa membantu.

            Tak lama kemudian, sebuah kaki melayang mengenai punggung ketiga gadis itu. Itu adalah kaki milik Ratu. Ratu memang anak silat, saat SMP dia mendapatkan banyak penghargaan dari silat, tapi ketika SMA dia berhenti, karena sudah bosan.

            Ketika gadis itu memandang Ratu dengan kesal, salah satu dari mereka berkata pada Ratu, “Lo itu siapa, sih? Nggak usah ikut campur urusan orang yah!”

            Ratu mengangkat satu ujung bibirnya, “Lo yakin masih tanya gue siapa? Lo yakin nggak tau gue siapa?”

            “Eh, lo itu jangan sombong. Jangan sok berani hanya karena lo dijaga sama tiga cowok yang terkenal!”

            “Yah nggak apa-apa kan gue sombong, kan ada yang gue sombongin. Gue punya tiga cowok yang ganteng, perhatian, dan selalu jaga gue.” Ratu diam sejenak. “Lah elo, muka kayak pantatnya panci aja sok-sokan mau sombong.”

            “Mau lo apa ngatain gue kayak gitu!”

            “Mau lo juga apa ngelabrak anak orang kayak gitu. Sumpah, lo bawa cermin kan? Ngaca mbak, lo udah lebih baik dari orang yang lo labrak, nggak? Uang masih minta orang tua, nilai masih dibawah KKM aja sok-sokan mau ngelabrak anak orang.”

            “Heh terserah gue lah, uang orang tua gue, nilai gue, ngapain lo yang repot?”

            “Nah itu sebabnya, hidup-hidup dia, ngapain lo repot?”

            “Lo berani kayak gini hanya karena lo dijaga sama tiga cowok itu, kan?”

            “Iya dong. Gue kan dijaga sama tiga cowok yang kuat-kuat. Lah lo, udah cuma dua cewek, lembek-lembek pula.” Lagi-lagi Ratu tersenyum, sebenarnya dia sangat suka bertengkar dengan kata-kata daripada kekerasan, karena dia tau, kata-kata jauh lebih menyakitkan daripada kekerasan. “Udah, deh. Mending lo pulang, dan cari kerja buat perawatan, karena wajah Nina jauh lebih bersih dari wajah lo.”

            Tiga perempuan itu pergi, lalu Ratu membantu Nina untuk berdiri. “Makasih ya, Ra,” kata Nina dengan suaranya yang bergetar.

            “Iya, lain kali kalau digituin jangan diem aja. Mereka nggak berhenti kalau kita nggak turun tangan.”

            Nina mengangguk sambil tersenyum.

            Ratu dan Nina membalikkan badan, lalu mereka melihat Raja, Ksatria, dan Pangeran yang sudah berdiri dibawah pohon mangga sambil tersenyum. Ratu membuka matanya lebar-lebar, karena masih tidak percaya kalau ketika laki-laki itu datang, kan mereka sedang ada acara lain.

            “Kalian kok di sini? Kenapa nggak bilang sama Ratu?” Wajah garangnya tadi sudah menghilang ketika bertemu ketika temannya ini.

            “Lo tau sendiri Raja kayak orang yang punya indra keenam. Tiba-tiba jemput gue sama Pangeran dan bilang ‘Ratu dalam bahaya’” jawab Ksatria.

            “Terus Risma? Latihan futsal? Bakti sosialnya gimana?”

            “Udah. Ayo pulang,” kata Raja lalu pergi mendahului mereka.

            “Lo beruntung ya punya mereka,” ucap Nina.

            Ratu tersenyum dan mengangguk, “Iya. Gue rasa gue manusia paling beruntung di dunia, gue manusia yang bener-bener nggak pantas buat ngeluh.”





16 Juli 2018, aku mulai memasukki masa SMA, meninggalkan masa SMP. Aku sekolah di salah satu SMA di kotaku, Mojokerto. Sekolahku kali ini berada di belakang SMPku, aku hanya perlu waktu tiga atau empat menit dari SMP ke SMA. Cukup dekat memang. Di smaku ini memilikki sekitar 18 ekstra, itu yang membuatku tertarik dengan sekolah ini. Ditambah dengan kantin sekolah yang menurutku cukup unik, karena temboknya semacam candi-candi gitu.

Ini adalah SMA yang aku inginkan dari smp. Saat pendaftaran hampir saja aku tidak di terima di Sma ini, dua sahabatku gugur, tapi Asta-teman smp yang aku ceritakan di pengalaman waktu pertama kali masuk SMP- sekolah di sekolah yang sama denganku. Sangat bersyukur karena dia satu sekolah denganku. Yah, dia sudah benar-benar menjadi teman dekatku, karena sejak pertama kali aku menginjak smp hingga sekarang lulus smp, aku selalu duduk dengan dia.

Aku menempati gugus sembilan, sama seperti saat smp dulu. Teman satu gugusku kali ini juga sama, yaitu Firza-teman smp. Dia juga satu gugus denganku, ditambah empat anak dari smp yang sama denganku. Sedangkan Asta, dia berada di gugus sepuluh, tetangga gugus. Awal di gugus aku duduk bersama Eny-anak kelas 9H. Tapi, setelah itu aku duduk bersama Hita-anak dari kelas 9D.

Aku menjalani masa pengenalan sekolah selama satu minggu. Kegiatannya hanya sosialisasi di aula, mendengarkan guru menjelaskan suatu hal, lalu kita harus mencatatnya. Berbagai macam kegiatan di saat pengenalan sekolah, game dan keseruan lainnya. Memang masa pengenalan sekolah ini sangat berbeda dengan MOS di smp, sungguh. Awalnya aku cukup terkejut, karena ini juga kehidupan baruku. Pikirku juga, di masa pengenalan sekolah aku tidak akan pulang jam empat sore, ternyata salah walau masih awal, tetap aku harus pulang jam empat sore.

Setelah satu minggu menjalani masa pengenalan sekolah. Pada hari senin kelas dibagai, setelah aku harus mengikuti tes IQ, memilih jurusan, dan sekarang hasil akhirnya. Entah aku berada di kelas IPA atau IPS, namun aku begitu berharap aku masuk ke kelas IPA.
Setelah upacara dibubarkan, semua murid kelas sepuluh berlarian mencari kelasnya masing-masing. Aku, Asta, dan Hita, mencari kelas bersama-sama. Kita memulai dari kelas bawah atau kelas IPS, tapi nihil aku tidak menemukan namaku, sedangkan Hita, dia berada di kelas IPS-5. Tinggal aku dan Asta, kami berjalan menaikki tangga, karena kelas IPA berada di lantai atas. Aku memulai dari kelas IPA-1, sampai akhirnya menemukan namaku di kelas IPA-5. Tak lama kami menemukan kelas Asta, dia berada di kelas IPA-7, satu kelas bersama saudaraku Dini, dan teman smp kami, Firza dan Nia.

Aku memasuki kelas, sedikit terkejut dengan bangku yang dipakai. Kelas ini menggunakan bangku seperti anak kuliah. Ah, kalau begini pasti sendiri-sendiri, dan yang ada di otakku pertama kali, bagaimana nanti kalau ingin menyontek? Maklum lah. Aku berjalan mencari tempat duduk, lalu memilih tempat duduk di barisan paling belakang, biar tenang. Ada lima anak yang aku kenal di kelas ini, dua teman smpku, satu teman sdku, satu aku hanya mengenalnya, dan satunya lagi teman gugusku.

Masih begitu canggung dengan teman baru. Dan, baru masuk kelas aku harus sudah menerima pelajaran matematika di jam pertama, tak lama aku mendapat jadwal pelajaran, ternyata saat hari senin aku harus menemuai pelajaran matematika empat kali sekaligus. Wah, sebenarnya aku tidak bisa dalam pelajaran matematika, tapi aku tetap memilih IPA yang bisa mempertemukanku dengan matematika tujuh kali dalam seminggu.

Dan sampai saat ini yang selalu ada dipikiranku, “masa sma tidak seperti yang aku bayangkan.” Bayanganku begitu tinggi tentang sma, tapi akhirnya hancur ketika aku benar-benar berada di sma. Semua begitu kacau, rumit, membingungkan, benar-benar aku tidak mempunyai waktu untuk melakukan apa yang aku sukai. Masa sma ini begitu berat bagiku, walau aku tau setelah sma, pertarungan hidupku kembali di mulai.

Di detik aku menulis ini, aku sedang  bingung apa yang bisa aku lakukan. Pertanyaan itu sudah ada dipikiranku sejak pengambilan rapot semester pertama. Nilaiku hancur, benar-benar hancur, aku berada di urutan bawah. Rasanya, aku tak ada gunanya. Aku takut. Aku bingung.

Yah, liburan satu minggu, hanya aku habiskan untuk kerja kelompok sampai-sampai Ibuku pun bilang, “kamu liburan satu minggu loh nggak kerasa, kayak liburan dua hari.” Yah, aku menyadari itu, bahkan sampai sekarang, hari minggu yang seharusnya untuk menenangkan diri, malah aku habiskan kerja kelompok. Berangkat jam sembilan, dan pulang jam tiga sore.

Ini lah yang aku rasakan dari pertama kali masuk sma, hingga sekarang hampir satu tahun aku ada di sma ini.
Koala.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

Hai, perkenalkan saya Wahyuning Arum. silakan e-mail ke wahyuarum0311@gmail.com untuk kerja sama

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Justitia Avila Veda, Memberikan Pendampingan Bagi Para Korban Pelecehan Seksual
  • 5 Drama Korea dengan Tema Nikah Paksa atau Nikah Kontrak yang akan Membuat Penonton Senyum-Senyum Sendiri
  • Rania Bahagia
  • Novel Serangkai; tentang melepaskan apa yang seharusnya dilepas
  • Semakin Bertambah Dewasa Semakin Takut Untuk Bermimpi
  • 5 Drama Korea Slice of Life yang Bisa Menemani Kamu Setelah Hari yang Melelahkan
  • Rekomendasi 5 Buku Pengembangan Diri Berkedok Novel
  • The Reason Why Masa SMP adalah Masa-Masa Paling Membahagiakan sekaligus Paling Menyedihkan dalam Hidupku
  • People Come and Go, hal biasa dalam hidup
  • Ratu | Bagian 10 | Dia yang selalu ada

Categories

  • Cerita Kita 14
  • Lifestyle 2
  • Ratu 11
  • Rekomendasi 5
  • Review 4

Cari Blog Ini

Intellifluence Trusted Blogger

Arsip Blog

  • ►  2023 (13)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Juli (10)
    • ►  Juni (2)
  • ►  2022 (6)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2021 (5)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (4)
  • ►  2020 (10)
    • ►  November (1)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (6)
  • ▼  2019 (10)
    • ▼  Desember (2)
      • Ada Aku Di Balik Saya
      • Teman Pikiran
    • ►  September (3)
      • Aku Ingin Memutar Waktu
      • Jatuh Cinta
      • Inginku
    • ►  Agustus (1)
      • Kenapa aku mencintaimu?
    • ►  Mei (2)
      • Mulailah Dari Dirimu Sendiri
      • Ratu | Bagian 2 | Risma
    • ►  April (2)
      • Pengalaman waktu pertamakali masuk sma
  • ►  2016 (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
Diberdayakan oleh Blogger.
  • Beranda

Popular Posts

  • Novel Serangkai; tentang melepaskan apa yang seharusnya dilepas
  • Novel Ghosting Writer, Meraih Mimpi dengan Cara yang Menarik
  • People Come and Go, hal biasa dalam hidup
  • The Reason Why Masa SMP adalah Masa-Masa Paling Membahagiakan sekaligus Paling Menyedihkan dalam Hidupku

Labels

  • Lifestyle 2

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Template